#

Rahasia Panas

internet marketing

Páginas

1 2 3 4

Sistem Kepemilikan


SISTEM KEPEMILIKAN

1. Harta
Di Minangkabau bila orang menyebut harta, maka sering tertuju penafsirannya kepada harta yang berupa material saja. Harta yang berupa material ini seperti sawah ladang, rumah gadang, emas perak dan lain-lain. Sebenarnya disamping harta yang berupa material ini, ada pula harta yang berupa moril seperti gelar pusaka yang diwarisi secara turun temurun. Orang yang banyak harta material, dikatakan orang berada atau orang kaya. Tetapi menurut pandangan adat, orang berada atau banyak harta ditinjau dari banyaknya harta pusaka yang turun temurun yang dimilikinya. Dari status adat lebih terpandang orang atau kaum yang banyak memiliki harta pusaka ini, dan tidak karena dibeli. Sampai sekarang khusus mengenai harta pusaka berupa sawah ladang masih ada perbedaan pendapat tentang pembagian jenis harta tersebut.
Perbedaan pendapat ini detemui ketika diadakan Seminar Hukum Adat Minangkabau yang diadakan dari tanggal 21 s/d 25 Juli 1968, dengan titik tolak yang diseminarkan adalah Hukum Tanah dan Hukum Waris. Sebelum seminar yang diadakan di Padang ini sebelumnya juga telah diadakan rapat lengkap adat di Bukittinggi yang permasalahannya juga berkaitan dengan materi seminar diatas. Pada pertemuan adat yang diadakan di Bukittingi telah diputuskan dengan kongkrit, bahwa harta orang Minangkabau itu hanya terbagi atas dua bahagian, yaitu harta Pusaka Tinggi dan harta Pusaka Pencaharian.
Dilain pihak, pendapat ini tidak disetujui, dan mengatakan harta di Minangkabau ada pusaka tinggi, ada pusaka rendah. Pendapat umum lebih cenderung, bahwa harta itu dibedakan atas empat bahagian, keempat pembahagian itu adalah sebagai berikut:
1. Harta Pusaka Tinggi
2. Harta Pusaka Rendah
3. Harta Pencaharian
4. Harta Suarang
Walaupun ada perbedaan pendapat, namun demikian yang berkaitan dengan pusaka tinggi, tidak ada perbesaan pendapat.
1. Harta Pusaka Tinggi
Harta pusaka tinggi adalah harta yang diwarisi secara turun temurun dari beberapa generasi menurut garis keturunan ibu. Adanya harta pusaka tinggi berkaitan dengan sejarah lahirnya kampuang dan koto yang diikuti dengan membuka sawah ladang sebagai sumber kehidupan. Pembukaan tanah untuk sawah ladang ini sebagai hasil galuah taruko oleh pendiri kampung dan koto. Hasil usaha nenek moyang inilah yang diwarisi oleh generasi sekarang dan paling kurang setelah lima generasi disebut sebagai harta pusaka tinggi.
Harta pusaka tinggi yang berupa material seperti sawah ladang, kebun dan lain-lain disebut juga pusako. Disamping itu ada pula harta pusaka tinggi yang berupa moril yaitu gelar pusaka kaum yang diwarisi secara turun temurun yang disebut dalam adat sako.
Harta pusaka tinggi dikatakan juga pusako basalin (pusaka bersalin), karena persalinan terjadi dari generasi ke generasi selanjutnya.
2. Harta Pusaka Rendah
Mengenai harta pusaka rendah ada perbedaan pendapat dan hal ini bisa mengundang permasalahan dalam pewarisan. H.K. Dt. Gunung Hijau dalam kertas kerjanya waktu Seminar Hukum Adat Minangkabau mengatakan, bahwa pusaka rendah adalah segala harta yang diperdapat dari hasil usaha pekerjaan dan pencaharian sendiri. Harta ini boleh dijual dan digadaikan menurut keperluan dengan sepakat ahli waris. Pendapat ini mendapat tanggapan dari berbagai pihak dan diantaranya dari Damsiwar SH., yang mengatakan bahwa yang dimaksud harta pusaka rendah oleh H.K Dt Gunuang Hijau sebenarnya adalah harta pencaharian. Selanjutnya dikatakan bahwa harta pusaka rendah itu merupakan harta tambahan bagi sebuah kaum dan ini diperoleh dengan membuka sawah, ladang atau perladangan baru, tetapi masih di tanah milik kaum. Jadi tanah yang dibuka itu sudah merupakan pusaka tinggi, hanya saja pembukaan sawah ladangnya yang baru.
Pendapat yang kedua terakhir merupakan pendapat yang umum karena dilihat dari sudut harta selingkar kaum. Maksudnya harta tambahan itu seluruh anggota kaum merasa berhak secara bersama.
3. Harta pencaharian
Harta pencaharian yaitu harta yang diperoleh dengan tembilang emas. Harta pencaharian adalah harta pencaharian suami istri yang diperolehnya selama perkawinan. Harta pencaharian yang diperoleh dengan membeli atau dalam istilah adatnya disebut tembilang emas berupa sawah, ladang, kebun dan lain-lain. Bila terjadi perceraian maka harta pencaharian ini dapat mereka bagi.
4. Harta suarang
Suarang asal katanya “surang” atau “seorang”. Jadi harta suarang adalah harta yang dimiliki oleh seseorang, baik oleh suami maupun istri sebelum terjadinya perkawinan. Setelah terjadi perkawinan status harta ini masih milik masing-masing. Jadi harta suarang ini merupakan harta pembawaan dari suami dan harta istri, dan merupakan harta tepatan. Karena harta ini milik “surang” atau milik pribadi, maka harta itu dapat diberikannya kepada orang lain tanpa terikat kepada suami atau istrinya. Oleh sebab itu dalam adat dikatakan “suarang baragiah, pancaharian dibagi” (suarang dapat diberikan, pencaharian dapat dibagi). Maksudnya milik seorang dapat diberikan kepada siapa saja, tetapi harta pencaharian bisa dibagi bila terjadi perceraian.

Pemindahan Hak
Terlebih dahulu dikemukakan pengertian pemindahan hak untuk memperjelas permasalahan yang akan dibicarakan. Pemindahan hak maksudnya berpindahnya hak, baik hak memiliki, menguasai maupun memungut hasil, karena terjadinya sesuatu transaksi antara seseorang atau kelompok kepada pihak lain. Pada mulanya pemindahan hak terhadap harta pusaka tinggi tidak tertulis, tetapi sejak dikenal tulis baca dengan aksara arab dan kemudian aksara latin maka pemindahan hak itu sudah dibuat secara tertulis.
Pamindahan hak yang dikenal sampai saat sekarang ini adalah sebagai berikut:
1. Jual Beli
Menurut adat menjual harta pusaka tinggi dilarang apalagi untuk kepentingan pribadi si penjual. Menjual harta pusaka berarti tidak mengingat masa yang akan datang, terutama bagi generasi kaumnya. Adanya suatu anggapan bahwa orang yang menjual harta pusaka yang tidak menurut semestinya hidupnya tidak akan selamat, karena kutukan dari nenek moyang mereka yang sudah bersusah payah mewariskannya.
Namun demikian ditemui juga dewasa ini penjualan harta pusaka dengan berbagai alasan. Alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tanah pusaka itu tidak produktif lagi, tidak bisa dijadikan sawah maupun ladang. Lantas dijual dan dipergunakan untuk membangun pabrik perkantoran dan perumahan. Yang penting tentu atas kesepakatan anggota kaum.
2. Tidak ada yang mengurus sehingga terlantar. Ahli waris merantau dan tipis kemungkinan untuk pulang mengurus harta pusaka itu.
3. Harta pusaka dijual dengan tujuan untuk dibelikan uangnya kembali kepada benda yang lain yang lebih produktif, benda itulah yang kemudian berstatus harta pusaka.
Kesemuanya itu dapat terjadi bila ada kesepakatan seluruh anggota kaum baik yang dirantau maupun yang dikampung.
2. Gadai
Harta pusaka dapat digadaikan kalau berkaitan dengan kepentingan kaum atau menjaga martabat kaum. Ada ketentuan adat harta pusaka itu digadaikan bila ditemui hal sebagai berikut:
1. Adat tidak berdiri, seperti pengangkatan penghulu
2. Rumah gadang ketirisan
3. Gadih gadang tidak bersuami
4. Mayat terbujur di tengah rumah
Gadai ini dapat dilaksanakan dengan syarat semua anggota ahli waris harta pusaka tersebut sudah sepakat. Jadi untuk menggadaikan harta pusaka syaratnya sangat berat. Dengan digadaikan harta itu dapat ditebus kembali dan tetap menjadi milik ahli warisnya. Gadai tidak tertebus dianggap hina. Disamping itu manggadai biasanya tidak jatuh pada suku lain melainkan kepada kaum �sabarek sapikua� (seberat sepikul) yang bertetangga masih dalam suku itu juga.
Si penggadai memperoleh sejumlah uang atau emas yang diukur dengan luas harta yang digadaikan dan penafsirannya atas persesuaian kedua belah pihak. Bila sawah yang menjadi jaminan atau sebagai sando (sandra), maka boleh ditebusi oleh si penggadai paling kurang sudah dua kali panen. Jika sudah dua kali turun kesawah tidak juga ditebusi, maka hasil tetap dipungut oleh orang yang memberi uang atau emas tadi.
Berkaitan dengan pegang gadai ini, perlu juga disimak bunyi pasal 7-UU 56 Prp th 1960 (undang-undang pokok agraria-UUPA) yang berbunyi:
�barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung 7 tahun atau lebih, wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen�.
Bila dilihat isi dari UUPA yang dikutip di atas tidak sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Minangkabau dalam hal pegang gadai. Pada umumnya yang memegang gadai adalah orang yang kekurangan tanah. Seandainya dibelakukan UUPA itu tentu saja uang si pemegang tidak kembali sedangkan dia kekurangan pula dalam segi harta, tentu saja hal ini tidak adil. Oleh karena itu pegang gadai di Minangkabau masih tetap seperti semula dan masih berlangsung secara azaz kekeluargaan. Bahkan gadai dalam adat dirasakan suatu upaya pertolongan darurat yang berfungsi sosial.
3. Hibah
Disamping pegang gadai, yang dibolehkan juga oleh adat adalah hibah. Hibah berasal dari bahasa arab �hibbah� yang artinya pemberian, misalnya pemberian seorang ayah kepada anak berupa harta pusaka. Pemberian ini timbul karena alasan kasih sayang dan tanggung jawab kepada anaknya. Ada tiga macam hibah dalam adat yaitu:
1. Hibah Laleh
Hibah laleh adalah pemberian dari seorang ayah kepada anaknya untuk selama-lamanya. Dalam adat pemberian seperti ini dikatakan �salamo dunia takambang, salamo gagak hitam, salamo aia ilia�, (selama dunia terkembang, selama gagak hitam, selama air hilir). Yang menjadi syaratnya adalah sepakat waris kaum yang bertali darah. Bila habis yang bertali darah harus sepakat waris yang bertali adat. Hibah laleh ini jarang terjadi karena tidak mungkin waris yang dikatakan di atas habis sama sekali. Kalau terjadi juga tidaklah dihibahkan seluruhnya, paling kurang sebagian kecil dari harta keseluruhan. Inipun tergantung kepada persetujuan bersama. Adat mengatakan �hibah basitahu-tahu, gadai bapamacik, jua bapalalu�, (hibah saling mengetahui, gadai berpegangan, jual berpelalu).
2. Hibah Bakeh, (hibah bekas)
Adalah pemberian harta dari ayah kepada anak. Hibah bakeh ini sifatnya terbatas yaitu selama anak hidup. Bila ada anaknya tiga orang tidak jadi soal, yang pokok bila anak-anaknya ini telah meninggal, maka harta yang dihibahkan kembali kepada kaum ayahnya. Di dalam adat hibah bakeh ini dikatakan �kabau mati kubangan tingga, pusako kanan punyo�, (perlu berhati-hati dalam melaksanakannya).
3. Hibah Pampeh
Hibah pampeh atau hibah pampas yaitu pemberian harta dari ayah kepada anaknya caranya yang berbeda karena kasih sayang kepada anak, si ayah mengatakan kepada anggota kaumnya, bahwa selama ini ia telah menggunakan uang anak-anaknya itu untuk biaya hidup dan biaya karena sakit-sakitan. Untuk itu buat sementara sawah sekian piring dibuat dan diambil hasilnya oleh anak-anaknya. Sawah itu jatuh kembali kepada ayahnya bila kaum ayahnya punya kesanggupan untuk mengganti uang anaknya yang terpakai. Hibah pampeh ini hanyalah merupakan pampasan dan hanya sebagai siasat dari sang ayah untuk membantu anak-anaknya (perlu berhati-hati dalam melaksanakannya).
Muncul istilah hibah bukan berarti pemberian seorang kepada orang lain, seperti dari ayah kepada anak tidak dikenal sebelum masuknya islam ke Minangkabau. Sebelumnya dalam adat istilah pemberian berupa hibah ini adalah �agiah laleh� (agiah lalu), agiah bakeh, dan agiah pampeh.
4. Wakaf
Wakaf adalah suatu hukum islam yang berlaku terhadap harta benda yang telah diikrarkan oleh pewakaf, yaitu orang yang berwakaf kepada nadzir (orang yang menerima dan mengurus wakaf).
Kata wakaf berasal dari bahasa arab yang berarti terhenti dari peredaran, atau menahan harta yang sumber atau aslinya tidak boleh diganggu gugat, dan membuat harta itu berguna untuk kepentingan masyarakat. Oleh sebab itu, terhadap harta benda yang telah diwakafkan tidak boleh diambil kembali oleh pihak yang berwakaf atau ahli warisnya dan tidak boleh pula dianggap milik sendiri oleh pihak yang mengurusnya.
Wakaf yang berupa tanah di Minangkabau sering dipergunakan untuk kepentingan sosial seperti untuk pendirian surau, mesjid, panti asuhan, sekolah dan lain-lain. (Kesepakatan kaum dalam mewakafkan harta pusaka adalah syarat utama yang perlu dicapai).

Ler Mais

Sistem Kekerabatan


SISTEM KEKERABATAN

1. Pengantar
Sistem kekerabatan pada masyarakat hukum adat Minangkabau oleh para ahli hukum lazim disimpulkan dalam kata-kata rumusan matrilineal, genologis dan tertorial. Pada sistem kekerabatan matrilineal ini garis keturunan ibu dan wanita : dan anak-anaknya hanya mengenal ibu dan saudara-saudara ibunya, ayah dan keluarganya tidak masuk clan anaknya karena ayah termasuk clan ibunya pula. Para ahli antropologi sependapat bahwa garis-garis keturunan matrilineal merupakan yang tertua dari bentuk garis keturunan lainnya. Salah seorang dari ahli tersebut bernama Wilken yang terkenal dengan teori evolusinya. Wilken mengemukakan proses dari garis keturunan ini pada masa pertumbuhannya sebagai berikut:
1. Garis keturunan ibu
2. Garis keturunan ayah
3. Garis keturunan orang tua
Menurut teori evolusi garis keturunan ibulah yang dianggap yang tertua dan kemudian garis keturunan ayah, selanjutnya si anak tidak hanya mengenal garis keturunan ibunya, tetapi juga garis keturunan ayahnya. Alasan yang digunakan oleh penganut teori evolusi ini menitik beratkan terhadap evolusi kehidupan manusia.
Pada masa lalu pergaulan antara laki-laki dan wanita masih bebas artinya belum mengenal norma-norma perkawinan. Untuk memudahkan silsilah seorang anak dengan berdasarkan kelahiran. Berdasarkan alam terkembang menjadi guru dalam kenyaaan yang beranak itu adalah wanita atau betina. Dengan demikian keturunan berdasarkan perempuanlah yang mendapat tempat pertama. Dalam kenyataan sampai saat ini, masyarakat Minangkabau masih bertahan dengan garis keturunan ibu dan tidak mengalami evolusi. Disamping itu garis keturunan ibu di Minangkabau erat kaitannya dengan sistem kewarisan sako dan pusako. Seandainya garis keturunan mengalami perubahan maka akan terjadi sesuatu perubahan dari sendi-sendi adat Minangkabau sendiri. Oleh itu bagi orang Minangkabau garis keturunan bukan hanya sekedar menentukan garis keturunan anak-anaknya melainkan erat sekali hubungannya dengan adatnya.
Sebenarnya garis keturunan yang ditarik dari garis wanita bukan hanya terdapat di Minangkabau saja, melainkan juga di daerah lain pada sejumlah besar suku-suku primitif di Melanesia, Afrika Utara, Afrika Tengah, dan beberapa suku bangsa di India. Malahan ada yang sangat mirip dengan sistem kekerabatan matrilineal Minangkabau, yaitu suku Babemba di Rodhesia Utara. Raymond Rifth mengemukakan, mengenai ini sebagai berikut:
Seorang laki-laki termasuk marga ibunya, dan kalau dia bicara tentang kampung asalnya, maka dimaksudkannya adalah kampung halaman ibunya dan paman-pamannya dari pihak perempuan dilahirkan. Dia mencari asal usul terutama dari silsilah nenek moyangnya dari pihak perempuan. Bagi seorang laki-laki bangsawan adalah lazim, bahwa nenek moyangnya dari pihak perempuan dapat ditunjukkan sampai keturunan yang ketiga belas, sedangkan nenek moyangnya yang laki-laki hanya sampai dua generasi saja. Pergantian kedudukan juga dilakukan menurut garis silsilah ibu. Jabatan kepala suku juga diturunkan kepada anak laki-laki saudara perempuannya.
Banyak ahli barat menulis tentang Minangkabau yang ada kaitannya dengan sistem kekerabatan Minangkabau. Salah seorang dari para ahli tersebut adalah Bronislaw Malinowsky yang mengemukakan sebagai berikut:
1. Keturunan dihitung menurut garis ibu
2. Suku dibentuk menurut garis ibu
3. Pembalasan dendam merupakan tata kewajiban bagi seluruh suku
4. Kekuasaan di dalam suku, menurut teori terletak di tangan ibu tetapi jarang dipergunakan.
5. Tiap-tiap orang diharuskan kawin dengan orang luar suku
6. Yang sebenarnya berkuasa adalah saudara laki-lakinya.
7. Perkawinan bersifat matrilokal yaitu suami mengunjungi rumah istri
Apa yang dikemukakannya di atas yang tidak ditemui sekarang adalah pembalasan dendam yang merupakan tata kewajiban seluruh suku, mungkin terjadi pada masa dahulu. Dalam membicarakan sistem kekerabatan matirilinel di Minangkabau yang akan dikemukakan pada bab selanjutnya.
Garis Kekerabatan dan Kelompok-Kelompok Masyarakat
Garis keturunan dan kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi inti dari sistem kekerabatan matrilineal ini adalah “paruik”. Setelah masuk islam di Minangkabau disebut kaum. Kelompok sosial lainnya yang merupakan pecahan dari paruik adalah “jurai”.
Interaksi sosial yang terjadi antara seseorang, atau seseorang dengan kelompoknya, secara umum dapat dilihat pada sebuah kaum. Pada masa dahulu mereka pada mulanya tinggal dalam sebuah rumah gadang. Bahkan pada masa dahulu didiami oleh berpuluh-puluh orang. Ikatan batin sesama anggota kaum besar sekali dan hal ini bukan hanya didasarkan atas pertalian darah saja, tetapi juga di luar faktor tersebut ikut mendukungnya. Secara garis besar faktor-faktor yang mengikat kaum ini adalah sebagai berikut.
1. Orang Sekaum Seketurunan
Walaupun di Minangkabau ada anggapan orang yang sesuku juga bertali darah, namun bila diperhatikan betul asal usul keturunannya agak sulit dibuktikan, lain halnya dengan orang yang sekaum. Walaupun orang yang sekaum itu sudah puluhan orang dan bahkan sampai ratusan, namun untuk membuktikan mereka seketurunan masih bisa dicari. Untuk menguji ranji atau silsilah keturunan mereka. Dari ranji ini dapat dilihat generasi mereka sebelumnya dan sampai sekarang, yang ditarik dari garis keturunan wanita. Faktor keturunan sangat erat hubungannya dengan harta pusaka dari kaum tersebut. Ranji yang tidak terang atau tidak ada sama sekali bisa menyebabkan kericuhan mengenai harta pusaka kaum tersebut. Ranji yang tidak terang atau tidak ada sama sekali bisa menyebabkan kericuhan mengenai harta pusaka kaum dan juga mengenai sako.
2. Orang Yang Sekaum Sehina Semalu
Anggota yang berbuat melanggar adat akan mencemarkan nama seluruh anggota kaum, yang paling terpukul adalah mamak kaum dan kepala waris yang diangkat sebagai pemimpin kaumnya, karena perasaan sehina semalu-cukup mendalam, maka seluruh anggota selalu mengajak agar jangan terjadi hal-hal yang tidak diharapkan dari anggota kaumnya. Rasa sehina semalu ini adat mengatakan : “malu tak dapek dibagi, suku tak dapek dianjak” (malu tak dapet dibagi suku tidak dapat dianjak). Artinya malu seorang malu bersama. Mamak, atau wanita-wanita yang sudah dewasa selalu mengawasi rumah gadangnya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diingini.
3. Orang Yang Sekaum Sepandan Sepekuburan
Untuk menunjukkan orang yang sekaum maka sebuah kaum mempunyai pandam tempat berkubur khusus bagi anggora kaumnya. Barangkali ada yang perlu untuk dibicarakan berkaitan dengan pandam ini. Di Minangkabau tempat memakamkan mayat terdapat beberapa istilah seperti pandam, pekuburan, ustano dan jirek. Kuburan ini merupakan tempat kuburan umum dan disini tidak berlaku seketurunan dan siapa saja atau mamak mana asalnya tidak jadi soal. Yang disebut juga anak dagang.
“ustano” adalah makam raja-raja dengan keluarganya. Di luar dari itu tidak dibenarkan. Namun dalam kenyataan sehari-hari orang mengacaukan sebutan ustano dengan istana sebagaimana sering kita baca atau dengar. Sedangkan jirek merupakan makam pembesar-pembesar kerajaan pagaruyung dengan keluarganya. Ustano dan jirek ini terdapat di pagaruyung batusangkar. Untuk mengatakan seseorang itu sekaum merupakan orang asal dalam kampung itu, kaum keluarganya dapat menunjukkan pandamnya, di dalam adat dikatakan orang yang sekaum itu sepandam sepekuburan dengan pengertian satu pandam tempat berkubur.
4. Orang Yang Sekaum Seberat Seringan
Orang yang sekaum seberat seringan sesakit sesenang sebagian yang dikemukakan dalam adat “kaba baik baimbauan, kaba buruk bahambauan” (kabar baik dihimbaukan, kabar buruk berhamburan). Artinya bila ada sesuatu yang baik untuk dilaksanakan seperti perkawinan, berdoa dan lain-lain maka kepada sanak saudara hendaklah diberitahukan agar mereka datang untuk menghadiri acara yang akan dilaksanakan. Tetapi sebaliknya semua sanak famili akan berdatangan, jika mendengarkan kabar buruk dari salah seorang anggota keluarganya tanpa dihimbaukan sebagai contohnya seperti ada kematian atau mala petaka lain yang menimpa.
5. Orang Yang Sekaum Seharta Sepusaka
Menurut adat Minangkabau tidak dikenal harta perseorangan, harta merupakan warisan dari anggota kaum secara turun temurun. Harta pusaka yang banyak dari sebuah kaum menunjukkan juga bahwa nenek moyangnya merupakan orang asal di kampung itu sebagai peneruka pertama, dan kaum yang sedikit mempunyai harta pusaka bisa dianggap orang yang datang kemudian. Oleh sebab itu di dalam adat sebuah kaum yang banyak memiliki harta tetapi hasil tembilang emas atau dengan cara membeli, maka statusnya dalam masyarakat adat tidak sama sekali dengan orang yang mempunyai harta pusaka tinggi. Malahan orang yang seperti ini disebut sebagai orang pendatang.
Harta pusaka kaum merupakan kunci yang kokoh sebagai alat pemersatu dan tetap berpegang kepada prinsip “harato salingka kaum, adat salingka nagari” (harta selingkar kaum, adat selingkar nagari).
Selanjutnya garis kekerabatan yang berkaitan dengan kaum ini adalah jurai. Sebuah kaum merupakan kumpulan dari jurai dan tiap jurai tidak sama jumlah anggotanya. Setiap jurai membuat rumah gadang pula, tetapi rumah gadang asal tetap dipelihara bersama sebagai rumah pusaka kaum. Pimpinan tiap jurai ini disebut tungganai atau mamak rumah sebuah anggota jurai, merupakan satu kaum.
Pecahan dari jurai disebut samande (seibu) yaitu ibu dengan anak-anaknya, sedangkan suami atau orang sumando tidak termasuk orang samande. Orang yang samande diberi “ganggam bauntuk, pagang bamasieng”. (genggam yang sudah diperuntukan, dan masing-masing sudah diberi pegengan), artinya masing-masing orang yang semande telah ada bagian harta pusaka milik kaum. Bagi mereka hanya diberi hak untuk memungut hasil dan tidak boleh digadaikan, apalagi untuk menjual bila tidak semufakat anggota kaum.
Perkawinan
Dalam adat Minangkabau tidak dibenarkan orang yang sekaum kawin mengawini meskipun mereka sudah berkembang menjadi ratusan orang. Walaupun agama Islam sudah merupakan anutan bagi masyarakat Minangkabau, namun kawin sesama anggota kaum masih dilarang oleh adat, hal ini mengingat keselamatan hubungan sosial dan kerusakan turunan. Demikian pula bila terjadi perkawinan sesama anggota kaum mempunyai akibat terhadap harta pusaka dan sistem kekerabatan matrilineal. Oleh karena itu sampai sekarang masih tetap kawin dengan orang di luar sukunya (exogami).
Perkawinan merupakan inisiasi kealam baru bagi seorang manusia merupakan perobahan dari tingkat umur, seperti masa bayi ke kanak-kanak, dari kanak-kanak ke alam dewasa dan kemudian ke jenjang perkawinan.
Mengenai perkawinan para ahli antropologi budaya yang menganut teori evolusi seperti Herbert Spencer mengemukakan proses perkawinan itu melalui lima tingkatan. Kelima proses tingkatan itu adalah sebagai berikut:
1. Promisquithelt : tingkat perkawinan sama dengan alam binatang laki-laki dan perempuan kawin dengan bebas.
2. Perkawinan gerombolan yaitu perkawinan segolongan orang laki-laki dengan segolongan orang perempuan.
3. Perkawinan matrilineal yakni perkawinan yang menimbulkan bentuk garis keturunan perempuan.
4. Perkawinan patrilineal yakni anak-anak yang lahirkan masuk dalam lingkungan keluarga ayahnya.
5. Perkawinan parental yaitu perkawinan yang memungkinkan anak-anak mengenal kedua orang tuanya. Bagi masyarakat Minangkabau sampai sekarang belum ada keterangan yang diperoleh bagaimana cara dan prosesnya sebelum agama islam masuk ke Minangkabau. Apakah ada proses perkawinan bebas dan bergerombolan ini dahulunya dan untuk itu tentu perlu penyelidikan dan penelitian khusus.
Dari cerita-cerita kaba yang ada di Minangkabau digambarkan bahwa untuk mencari seorang sumando dipanjang gelanggang dan diadakan sayembara. Perkawinan dengan sayembara ini memperlihatkan cara seorang raja atau bangsawan mencari calon menantu. Hal ini tidak sesuai dengan struktur masyarakat Minangkabau yang tidak mengenal adat raja-raja, dan kemungkinan cerita dalam kaba ini merupakan pengaruh dari luar Minangkabau.
Beberapa hal yang perlu dikemukakan yang berkaitan dengan perkawinan ini adalah sebagai berikut:
1. Inisiatif datang dari pihak keluarga perempuan
Pada masa dahulu bagi seorang mamak merasa malu bila kemenakannya belum juga mendapat jodoh. Sedangkan menurut ukuran sudah sepantasnya untuk kawin, malu bila dikatakan kemenakannya “gadih gadang alun balaki” (gadis besar belum bersuami).
Pada masa dahulu dibenarkan untuk menggadaikan harta pusaka tinggi bila terdapat gadih gadang alun balaki. Segala daya dan upaya dilkukan demi memperoleh jodoh kemenakan. Mencari calon suami dari kemenakan dikatakan juga mencari junjungan, untuk tempat kemenakannya menyadarkan diri. Hal ini juga tidak terlepas dari alam takambang jadi guru. Ibarat kacang panjang membutuhkan junjungan untuk membelitkan dirinya. Lazimnya pada masa dahulu si gadis tidak dinyatakan terlebih dahulu apakah ia mau kawin atau tidak, atau calon suaminya disukai atau tidak.
Hal ini dengan pertimbangan seseorang yang belum kawin masih dianggap belum dewasa. Apalagi pada masa dahulu seorang wanita sudah dicarikan suaminya dalam umur yang relatif muda, seperti umur 13, 14 atau 15. Bila sudah menjanda baru ditanya pendapatnya, karena sudah dianggap matang untuk melakukan pilihan.
Drs. M. Rajab mengenai inisiatif dari seorang mamak untuk mencari jodoh kemenakannya mengemukakan sebagai berikut: “dalam masyarakat Minangkabau pada masa dahulu inisiatif untuk mengawinkan anak kemenakan datang dari pihak keluarga perempuan, sesuai dengan sistim keibuan yang dipakai. Datuk atau mamaknya atau keduanya pada suatu ketika yang baik dan dalam suasana yang tenang dan resmi, mengajak ayah gadis tersebut berunding dan bertanya, apakah sudah terlintas pada pikirannya seorang laki-laki yang layak untuk diminta menjadi menantunya.”
Dapat disimpulkan antara mamak dengan ayah kemenakannya melakukan pendekatan terlebih dahulu. Setelah itu baru dibawa kepada anggota kaum yang pantas untuk berunding atau bermusyawarah bersama-sama. Dalam hal ini urang sumando mengajukan calonnya pula. Setelah dapat kata sepakat barulah diutus utusan untuk menjajaki keluarga laki-laki yang bakal diharapkan menjadi junjungan kemenakannya.
Perkawinan yang dilakukan atas musyawarah seluruh anggota kaum dan antara dua kaum sangat diharapkan dalam adat, karena pada lahirnya bukan hanya mempertemukan seorang gadis dengan seorang laki-laki, melainkan mempertemukan dua keluarga besar. Seandainya terjadi hal yang tidak diingini, seperti pertengkaran suami istri, perceraian dan lain-lain, maka seluruh anggota keluarga merasa bertanggung jawab untuk menyelesaikannya dan menanggung segala resikonya.
Pada saat sekarang mungkin saja calon suami atau istri datang dari pihak gadis atau laki-laki, namun jalur adat harus dituruti juga. Bawalah permasalahan kepada mamak atau kaum keluarga, sehingga nilai-nilai adat tetap terpelihara. Sangat tercela bila pemuda mencari jodoh sendiri dan melangsungkan perkawinan sendiri tanpa melibatkan masing-masing anggota keluarga.
2. Calon menantu yang diidamkan
Pada umumnya orang Minangkabau pada masa dahulu mencari calon menantu mempunyai ukuran-ukuran tertentu atau syarat-syarat yang mempunyai tata nilai yang berlaku waktu itu. Yang paling disukai adalah urang babangso (orang berbangsa). Orang ini dalam keluarga laki-laki mamaknya pemangku adat atau penghulu yang disegani dalam masyarakat adat. Kalau dapat calon menantu ini pemangku adat yang berpredikat datuk, serta baik budinya. Tujuannya agar keturunannya nanti anak orang terpandang dan soal pekerjaan dan jaminan ekonomi tidak dipermasalahkan. Setelah islam masuk ke Minangkabau calon menantu yang diinginkan adalah orang yang alim serta taat beragama. Kesemuanya itu tidak lain untuk menambah martabat bagi seseorang dan anggota kaum pada umumnya.
Karena adanya perobahan sistim nilai yang terjadi maka saat sekarang kecendrungan untuk mencari calon menantu itu adalah orang yang penuh tanggungjawab dan sudah mempunyai pekerjaan yang tetap, dan tentu saja ketaatannya beragama serta budinya yang baik tetap menjadi ukuran pertimbangan.
Dahulu soal ekonomi dari calon menantu kurang dipertimbangkan bukan berarti pihak suami tidak bertanggungjawab, melainkan pada waktu itu hasil harta pusaka sawah dan ladang memadai. Tentu penduduk belum sebanyak sekarang jika dibandingkan dengan harta pusaka yang ada.
3. Calon menantu cenderung dicari hubungan keluarga terdekat.
Merupakan ciri khas juga pada masa dahulu calon suami atau istri mencari hubungan keluarga terdekat, seperti pulang kebako, atau pulang ke anak mamak. Hal ini lain tidak agar hubungan keluarga itu jangan sampai putus dan berkesinambungan pada generasi selanjutnya. Secara tersirat ada juga dengan alasan agar harta pusaka dapat dimanfaatkan bersama antara anak dan kemenakan. Hubungan perkawinan keluarga terdekat ini dalam adat dikatakan juga “kuah tatumpah kanasi, siriah pulang ka gagangnyo” (kuah tertumpah ke nasi, sirih pulang ke gagangnya).
Malahan pada masa dahulu perkawinan dalam lingkungan sangat diharuskan, dan bila terjadi seorang laki-laki kawin di luar nagarinya akan diberi sangsi dalam pergaulan masyarakat adat. Tujuan lain untuk memperkokoh hubungan kekerabatan sesama warga nagari. Sangat tidak disenangi bila seorang pemuda telah berhasil dalam kehidupannya dengan baik, tahu-tahu dia kawin diluar kampung atau nagarinya, hal ini dikatakan ibarat “mamaga karambia condong” (memagar kelapa condong), buahnyo jatuah kaparak urang (buah jatuh kekebun orang). Keberhasilan seseorang individu dianggap tidak terlepas dari peranan anggota kaum, kampung dan nagari. Oleh sebab itu sudah sepantasnya jangan orang lain yang mendapat untungnya.
4. Setelah perkawinan suami tinggal di rumah isteri
Berkaitan dengan sistim kekerabatan matrilineal, setelah perkawinan si suamilah yang tinggal di rumah istrinya. Dalam istilah antropologi budaya disebut matrilocal. Mengenai tempat tinggal di rumah istrinya, beberapa ahli mempunyai pendapat lain, seperti Firth mengatakan dengan istilah “uxorilocal” dan Mordock mengatakan “duolocal residence”, hal ini dengan alasan karena masing-masing suami istri tetap tinggal dan punya domisili yang sah di dalam kelompok tempat tinggal kelahirannya di garis keturunan masing-masing.
Sayang sekali pendapat di atas tidak menjelaskan pada zaman apa terjadinya hal yang demikian. Pada masa dahulu suami pulang kerumah istrinya pada sore hari dan subuhnya kembali kerumah orang tuanya. Hal ini mungkin terjadi bila terjadi dalam lingkungan daerah yang masih kecil, seperti sekampung, senagari dan asal tidak bersamaan suku. Namun dalam adat Minangkabau tidak mengenal istilah duorocal residence atau dua tempat tinggal bagi seorang suami sebagaimana yang dikatakan oleh ahli tersebut diatas. Sejak dahulu sampai sekarang orang Minangkabau tetap mengatakan bahwa suami tinggal di rumah istri bila berlangsung perkawinan.
5. Tali kekerabatan setelah perkawinan
Sebagai rentetan dari hasil perkawinan menimbulkan tali kerabat – tali kerabat antara keluarga istri dengan keluarga rumah gadang suami dan sebaliknya. Tali kerabat itu seperti tali induak bako anak pisang, tali kerabat sumando dan pasumandan, tali kerabat ipar, bisan dan menantu.
a. Tali kerabat induak bako anak pisang, yaitu hubungan kekerabatan antara seseorang anak dengan saudara-saudara perempuan bapaknya, atau hubungan seseorang perempuan dengan anak-anak saudara laki-lakinya. Saudara-saudara perempuan dari seorang bapak, adalah induak bako dari anak-anaknya. Sedangkan anak-anak dari seorang bapak merupakan anak pisang dari saudara-saudara perempuan bapaknya. Anak-anak perempuan dari saudara-saudara perempuan bapak adalah “bakonya”.
b. Tali kekerabatan sumando dan pasumandan. Dengan adanya perkawinan maka terjadi hubungan sumando pasumandan. Bagi seluruh anggota rumah gadang istri, suaminya, menjadi urang sumando (orang semenda) seseorang istri bagi keluarga suaminya menjadi pasumandan.
c. Sumando berasal dari bahsa sansekerta yaitu “sandra”, sedangkan dalam bahasa Minangkabau menjadi “sando” dengan sisipan “um” menjadi sumando. Persamaan kata sando adalah gadai. Dalam kehidupan sehari-hari ada istilah pagang gadai. Bagi pihak yang menerima jaminan berupa benda harta yang digadaikan disebut sando, sedangkan orang yang memberikan hartanya sebagai jaminan dikatakan menggadaikan. Demikianlah sebagai penerima dari keluarga perempuan terhadap seorang menjadi suami anak kemenakannya dikatakan sebagai sumando. Namun demikian jangan lah diartikan secara negatif seperti terjadinya pegang gadai dalam kehidupan sehari-hari.
d. Seorang istri yang menjadi pasumandan dari anggota rumah gadang suaminya di aberperan sebagai komunikator antara suaminya dengan tungganai dan mamak rumah gadangnya. Sedang untuk mengkomunikasikan kepentingan sendiri sebagai istri, biasanya melalui saudara-saudara perempuan suami.
e. Tali kekerabat ipar, bisan dan menantu. Bagi seorang suami, saudara-saudara perempuan istrinya menjadi bisannya. Sedangkan saudara-saudara laki-laki dari istrinya adalah menjadi iparnya. Sebaliknya, saudara-saudara perempuan suaminya adalah merupakan bisannya, dan saudara laki-laki suaminya menjadi iparnya. Dalam kehidupan sehari-hari orang Minangkabau menyebut ipar, bisan ini “ipa bisan” dan kadang-kadang disambung saja jadi “pabisan”.
Bagi orang Minangkabau menantu dibedakan atas dua bahagian. Pertama menantu sepanjang syarak. Bagi seorang suami istri dan saudara laki-lakinya. Istri-istri atau suami-suami anaknya merupakan menantu sepanjang syarak. Yang kedua, menantu sepanjang adat, maksudnya bagi seorang mamak beserta istri dan saudara-saudara laki-lakinya, istri atau suami kemenakan merupakan menantu sepanjang adat.
6. Sumando yang diidamkan
Nilai seorang sumando sekaligus, merupakan nilai seorang mamak di luar lingkungan sosial rumah gadang, karena orang sumando tersebut seorang mamak di rumah gadangnya. Sampai sejauh mana tingkah laku seorang sumando itu dalam melakukan perannya, orang Minangkabau mengklasifikasikannya sebagai berikut:
a. Sumando bapak paja atau sumando ayam gadang (ayam besar). Maksudnya orang sumando hanya pandai beranak saja seperti ayam besar, sedangkan tanggungjawab kepada anak istrinya tidak ada.
b. Sumando langau hijau (lalat hijau). Penampilan gagah dan meyakinkan tetapi perangai tidak baik. Suka kawin cerai dengan meninggalkan anak. Seperti langau hijau suka hinggap di mana-mana dan kemudian terbang meninggalkan bangan (kotoran).
c. Sumando kacang miang. Orang sumando kacang miang punya perangai yang suka memecah belahkan kaum keluarga istrinya, seperti “kacang miang” yang membuat orang gatal-gatal.
d. Sumando lapiak buruak (tikar buruk). Sumando lapiak buruak (tikar buruk) orang sumando seperti ini tidak menjadi perhitungan di tengah-tengah kaum istrinya. Ibarat tikar buruk hanya dipakai kalau betul-betul diperlukan kalau tidak alang kepalang perlu tikar buruk ini tidak dipergunakan.
e. Sumando kutu dapua. Sumando seperti ini banyak di rumah dari di luar, suka melakukan pekerjaan yang hanya pantas dilakukan oleh wanita, seperti memasak, mencuci piring, menumbuk lada, menggendong anak dan lain-lain.
f. Sumando niniak mamak. Sumando ninik mamak adalah sumando yang diharapkan oleh keluarga istrinya. Sumando ninik mamak di rumah gadang istrinya dia akan bersikap, nan tahu dikieh kato sampai, mengampuangkan nan taserak, mangamehi nan tacicia. (yang tahu dengan kias kata sampai mengapungkan yang terserak, mengemasi yang tercecer). Maksudnya halus budi bahasanya, suka membantu kaum keluarga istrinya, baik secara moril maupun materil. Demikian pula di rumah gadang kaumnya berfungsi mauleh mano nan putuih, senteng mambilai, kurang manukuak (mangulas mana yang putus, senteng menyambung, kurang menambah). Dengan pengertian dia suka turun tangan dan cepat tanggap menyelesaikan segala persoalan dalam anggota kaumnya.
Dengan adanya pengklasifikasian orang sumando ini bagi orang Minangkabau sendiri, terutama bagi laki-laki akan dapat berfikir jenis manakah yang akan dipakainya, seandainya dia kawin dan menjadi sumando di rumah istrinya.
Peranan Ibu Dan Bapak dalam Keluarga
Perkawinan tidak menciptakan keluarga inti (nuclear family) yang baru, sebab suami atau istri tetap menjadi anggota dari garis keturunan masing-masing. Oleh karena itu pengertian keluarga inti yang terdiri dari ibu, ayah dan anak-anak sebagai suatu unit yang tersendiri tidak terdapat dalam struktur sosial Minangkabau. Yang dimaksud dengan keluarga dalam struktur sosial masyarakat Minangkabau, adalah paruik yang terdiri dari individu-individu yang dikemukakan diatas.
Dalam proses sosialisasi seorang individu dalam rumah gadang banyak ditentukan oleh peranan ibu dan mamak. Sedangkan ayahnya lebih berperan di tengah-tengah paruiknya pula.
Pengertian ibu dalam hal ini bukan berarti ibu dari anak-anaknya, melainkan sebagai sebutan dari semua wanita yang sudah berkeluarga dalam sebuah rumah gadang. Sedangkan untuk wanita keseluruhan orang Minangkabau menyebut perempuan. Perempuan berasal dari kata sansekerta yaitu: “empu” yang berarti dihormati. Begitu dihormati perempuan Minangkabau dapat dilihat dimana garis keturunan ditarik dari garis ibu, rumah tempat kediaman diperuntukkan bagi wanita, hasil sawah ladang juga untuk wanita dan lain-lain. Peranan seorang ibu sangat besar sekali, semasa seseorang masih bayi orang yang dikenal pertama kalinya hanya ibunya dan saudaranya seibu. Dia mencintai ibunya sebagai orang yang mengasuh dan memberinya makan. Ia dan ibunya dan saudara-saudaranya merupakan suatu kelompok yang terasing dari orang-orang di luar kelompok. Bila terjadi sesuatu hal terhadap ibunya atau saudara-saudaranya jia akan berrpihak kepadanya.
Setelah mulai besar, maka anggota seluruh rumah gadang adalah keluarga dan merupakan suatu kelompok yang mempunyai kepentingan yang sama pula terhadap dunia luar yaitu dari orang-orang rumah gadang lainnya.
Setelah menanjak dewasa mulai diadakan pemisahan antara pemuda dan gadis. Bagi anak laki-laki tidak dibenrkan lagi tinggal di rumah gadang, ia dengan teman-teman sebaya tidur di surau atau di rumah pembujangan. Proses sosialisasi selanjutnya banyak diperolehnya di surau ini, karena di surau ini bukan hanya para pemuda dan remaja saja yang tinggal, tetapi juga anggota keluarga laki-laki yang sekaum dengannya dan belum kawin atau menduda dan umumnya sudah dewasa dari mereka. Surau adalah tempat mengaji, tempat belajar adat istiadat dan tempat mendengar kisah-kisah lama bersumber dari tambo alam Minangkabau. Adakalanya sebelum tidur mereka juga belajar pencak silat sebagai ilmu bela diri untuk membekali dirinya, baik untuk di kampung maupun persiapan untuk pergi kerantau nantinya. Proses sosialisasi anak laki-laki menuju remaja dan dewasa banyak ditentukan oleh peranan mamak-mamaknya dalam rumah gadang.
Anak-anak perempuan yang meningkat gadis selalu berada disamping ibunya dan perempuan-perempuan yang sudah dewasa di dalam rumah gadang. Dia diajar masak-memasak membantu ibunya di dapur, mengurus rumah tangga. Disamping itu juga diajar menjahit, menyulam. Semua kepandaian yang diajarkan oleh ibunya untuk mempersiapkan dirinya untuk berumah tangga nantinya.
Dalam sistem keturunan matrilineal, ayah bukanlah anggota dari garis keturunan anak-anaknya. Dia dipandang tamu dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga, yang tujuannya terutama memberi keturunan. Seorang suami di rumah gadang istrinya sebagai seorang sumando. Namun demikian bukanlah berarti laki-laki tersebut hilang kemerdekaannya. Ia tetap merdeka seperti biasa sebelum kawin dan boleh beristri dua, atau tiga lagi dan sampai empat, tanpa dapat dihalangi oleh istrinya. Dia boleh menceraikan istrinya, jika dia atau keluarganya tidak senang dengan kelakuan istrinya. Sebaliknya istri dapat pula meminta cerai dari suaminya jika dia tidak cinta lagi kepada suaminya, atau bilamana pihak keluarganya tidak senang melihat kelakuan menantunya atau kelakuan salah seorang keluarga menantunya.
Bila diperhatikan pula ungkapan-ungkapan adat memperlihatkan, bahwa seorang ayah atau seorang sumando di dalam kaum istrinya tidak mempunyai kekuasaan apa-apa dalam keluarga istrinya termasuk terhadap anak-anaknya, sebagaimana dikatakan “sedalam-dalam payo, sahinggo dado itiak, saelok-elok urang sumando sahingga pintu biliak” (sedalam-dalam paya, sehingga dada itik, sebaik-baik orang semenda sehingga pintu bilik). Demikian pula dikatakan orang sumando ibarat “abu di ateh tunggua” (abu di atas tunggul). Datang angin berterbangan. Ada beberapa hal yang mendukung mengapa peranan ayah begitu kecil sekali terhadap anak/istri, dan kaum keluarga istrinya waktu itu. Kehidupan waktu itu masih bersifat rural agraris yaitu kehidupan petani sebagai sumber penghidupan. Penduduk yang masih jarang, harta yang masih luas, dan memungkinkan seorang ayah tidak perlu memikirkan kehidupan sosial ekonominya. Disamping itu seorang ayah tidak perlu memikirkan tentang pendidikan anak-anaknya, serta biaya karena sekolah formal waktu itu tidak ada. Secara tradisional seorang anak meniru pekerjaan mamaknya.
Bila mamaknya bertani, maka kemenakannya dibawa pula bertani, jika mamaknya berdagang, maka kemenakannya dibawa pula untuk membantunya. Kawin cerai tidak menjadi persoalan yang penting keturunan dan martabat dari pada ayahnya. Demikian pula anak-anak perempuan pendidikannya hanya terbatas dalam lingkungan rumah gadang saja, dan proses pendidikan lebih banyak diarahkan kepada persiapan untuk menempuh jenjang perkawinan. Disamping itu karena interaksi dengan dunia luar belum ada, sehingga kemungkinan untuk merobah pola struktur yang telah ada sedikit sekali. Barangkali bagi orang Minangkabau sekarang kurang tepat bila memandang masa lalu dengan kaca mata sekarang, karena ruang lingkup waktu dan tempat yang berbeda.
Dalam proses selanjutnya terjadi perobahan peranan ayah terhadap anak dan istrinya karena berbagai faktor sesuai dengan perkembangan sejarah. Munculnya keinginan merantau dari orang Minangkabau, masuknya pengaruh islam dan pendidikan modern telah membawa perubahan-perubahan cara berfikir dalam hidup berkeluarga dan dalam tanggungjawab terhadap anak istrinya.
Bagi yang pergi merantau dia melihat struktur sosial yang berbeda dari masyarakat kampung yang ditinggalkan selama ini. Dan betapa akrabnya hubungan suami istri beserta anak-anaknya yang tinggal dalam satu rumah. Membawa istri kedaerah rantau dan hidup bersama-sama anak-anak merupakan sejarah baru, yang selama ini tidak pernah ditemui. Hidup yang bebas dengan anak-anaknya dalam rumah sendiri telah membawa gema ke kampung halaman. Bila mendapat rezeki di rantau, si ayah membuatkan rumah untuk anak istrinya di kampung untuk membuktikan keberhasilannya di rantau. Rumah yang didirikan walaupun masih ditanah kaum istrinya, tetapi sudah berpisah dari rumah gadang.
Pergeseran peranan mamak kepada ayah dipercepat lagi setelah mantapnya agama islam menjadi anutan masyarakat Minangkabau. Agama islam secara tegas menyatakan, bahwa kepala keluarga adalah ayah. Dalam permulaan abad ke XIX pengaruh barat, terutama melalui jalur pendidikan ikut juga memperkuat kedudukan dan peranan ayah ditengah-tengah anak istrinya. Namun demikian bukan berarti bergesernya sistem kekerabatan matrilineal kepada patrilineal.
Betapa cintanya seorang ayah kepada anaknya, Drs. M. Rajab mengatakan : “dan tidak jarang terjadi seorang ayah, biarpun dia seorang penghulu. Dengan diam-diam memberikan hibah kepada anak-anaknya tanpa diketahui oleh pengawas-pengawas adat lainnya. Dengan berbuat demikian sebenarnya ia melanggar hukum adat yang wajib dibelanya, tetapi karena ia mulai cinta kepada anak-anaknya maka terbuktilah bahwa kecintaan ayah kepada anak mulai bertambah kuat. Barangkali sebagi klimaks pergeseran peranan mamak kepada ayah dengan suatu konsensus yang tidak nyata telah melahirkan talibun adat yang menyatakan:
Kaluak paku kacang balimbiang
Ambiak tampuruang lenggang-lenggangkan
Dibawo nak urang saruaso
Tanam siriah jo ureknyo
Anak dipangku kamanakan dibimbiang
Urang kampuang dipatenggangkan
Tenggang nagari jan binaso
Tenggan sarato jo adatnyo
(keluk paku kacang belimbing, ambil tempurung lenggang-lenggangkan, dibawa anak ke saruaso, tanam sirih dengan uratnya, anak dipangku kemenakan dibimbing, orang kampung dipatenggangkan, jaga nagari jangan binasa, jaga beserta dengan adatnya).
Dari talibun adat ini secara jelas dikatakan bahwa peranan ayah terhadap anaknya adalah “dipangku” dan secara tidak langsung menunjukkan bahwa hubungan antara anak dengan ayahnya dekat sekali dan berada pada haribaannya. Sedangkan hubungan anak dan kemenakan adalah “dibimbing”. Secara filosofis pengertian anak dipangku kemenakan dibimbing dapat juga diartikan, bahwa anak yang dipangku lebih dekat dengan harta pencaharian. Sedangkan kemenakan dibimbing yang kakinya berada di tanah sebagai kiasan, bahwa kemenakan sumber kehidupannya masih dapat diharapkan dari tanah. Yaitu harta pusaka.
Disamping itu ayah dan kedudukannya sebagai seorang mamak tetap diharapkan oleh kemenakan sebagai pembimbing sesuatu yang dibutuhkan oleh kemenakannya meskipun tidak sepenuhnya dapat dilakukan seperti kedudukan anak dalam keluarga yang langsung setiap hari dibawah lindungan dan bimbingan orang tuanya. Meskipun kemenakan itu sebenarnya sebagai anak pada orang tuanya akan sama pula keadaannya sebagaimana bapak-bapak yang lain mempertanggungjawabkan anaknya.
Beruntunglah seorang anak di Minangkabau jika seorang bapak yang juga berfungsi sebagai mamak mengamalkan ajaran adat “anak dipangku kamanakan dibimbinang”.
Mamak Dan Kemenakan
Tali kekerabatan mamak dan kemenakan dapat dibedakan atas empat bahagian. Keempat macam tali kekerabatan mamak dan kemenakan ini adalah sebagai berikut:
1. Kemenakan Bertali Darah
Kemenakan bertali darah, yaitu semua anak dari saudara perempuannya bagi seorang laki-laki yang didasarkan atas hubungan darah menurut garis keibuan.
2. Kemenakan Bertali Adat.
Kemenakan bertali adat, yaitu kedatangan orang lain yang sifatnya “hinggok mancankam tabang manumpu” (hinggap mencengkam terbang menumpu). Hal ini diibaratkan kepada seekor burung, jika ia akan terbang menumpukan kakinya agar ada kekuatan untuk terbang, dan mencengkram kakinya bila akan hinggap kepada dahan atau ranting. Maksudnya orang yang datang kepada sebuah nagari. Di nagari baru ini dia dan keluarganya menepat kepada seorang penghulu. Agar dia diakui sebagai kemenakan haruslah “adat diisi lembaga dituang”. Dengan pengertian dia dan keluarganya mengisi adat yang sudah digariskan. Namun statusnya dalam masyarakat adat dia tidak duduk sama rendah tegak tidak sama tinggi dengan penghulu-penghulu dalam nagari itu.
3. Kemenakan Bertali Air.
Kemenakan bertali air yaitu orang datang yang dijadikan anak kemanakan oleh penghulu pada sebuah nagari. Orang datang ini tidak mengisi adat dan lembaga di tuang.
4. Kemenakan Bertali Ameh.
Kemenakan bertali ameh yaitu orang yang dibeli untuk dijadikan kemenakan oleh penghulu. Kemenakan seperti ini tidak mengisi adat pada penghulu tersebut, dan tidak menuang lembaga pada nagari tersebut. Seorang laki-laki di Minangkabau dalam hubungan tali kekerabatan mamak kemenakan terutama yang bertali darah akan selalu memangku dua fungsi yang bersifat diagonal, yaitu sebagai kemenakan saudara laki-laki ibu dan sebagai mamak dari saudara-saudara perempuan. Hubungan tali kerabat ini diturunkan atau dilanjutkan kebawah melalui garis keturunan perempuan.
Hubungan mamak kemenakan ini diperkembangkan karena keperluan memasyarakatkan anggota-anggota rumah gadang dan menyiapkan serta menumbuhkan calon pemimpin dari lingkungan sosial yang terkecil (parui), kampung sampai kelingkungan sosial yang lebih besar yaitu nagari, agar anggota laki-laki dari lingkungan sosial itu berkemampuan dan berkembang menjalankan fungsi yang digariskan.
Sebagai calon pemimpin kepada kemenakan oleh mamak diturunkan dasar-dasar dan prinsip-prinsip tanggungjawab, meliputi fungsi peranan pemeliharaan dan serta penggunaan unsur potensi manusia atau keturunan, pemeliharaan harta pusaka. Sedangkan keluar berkaitan dengan norma-norma hidup bermasyarakat sebagai anggota kampung dan nagari.
Kemenakan laki-laki dipersiapkan sedemikian rupa oleh mamaknya, agar nantinya salah seorang dari mereka akan menjadi pucuk pimpinan di tengah kaumnya. Sehubungan dengan hal tersebut kepemimpinan seseorang itu sangat ditentukan pembinaan di tengah-tenah kaumnya oleh mamak-mamaknya.
Konsep-konsep dasar tentang pembinaan individu oleh mamak telah diwarisi secara turun temurn, dan karenanya pengetahuan si mamak harus melebihi kemenakannya, sebagaimana dikatakan “indak nan cadiak pado mamak, melawan mamak jo ilmunya, melawan malin jo kajinyo” (tidak ada yang cerdik dari mamak, melawan mamak dengan ilmunya melawan malin dengan kajinya). Dengan arti kata boleh melawan tetapi dengan pengertian positif dan kemenakan seperintah mamak (kemenakan seperintah mamak), maksudnya kemenakan mengikuti apa yang diwariskan oleh mamaknya dari generasi terdahulu, dan sekarang wajib pula bagi kemenakan untuk menerima dan mengamalkannya.
Dalam adat sudah dikiaskan agar dalam membina kemenakan jangan sampai terjadi otoriter dan kesewenangan. Hal ini dikatakan dalam adat “kemenakan manyambah lahia, mamak manyambah batin” (kemenakan menyembah lahir, mamak menyembah batin). Dengan pengertian mamak dalam membimbing kemenakan hendaklah menunjukkan sikap, tingkah laku yang berwibawa dan bukan karena kekuasaannya sebagai seorang mamak. Bimbingan terhadap kemenakan laki-laki sangat penting karena mereka dipersiapkan sebagai pimpinan di tengah kaum keluarganya dan sebagai pewaris sako (gelar kebesaran kaum) yang ada pada kaumnya. Tanpa ada kemenakan laki-laki dikatakan juga ibarat “tabek nan indak barangsang, ijuak nan indak basaga, lurah nan indak babatu” (tebat yang tidak mempunyai ransang, ijuk yang tidak mempunyai saga, lurah yang tidak mempunyai batu), dengan arti kata dari kemenakan laki-laki diharapkan sebagai pagaran dari kaumnya. Bila terjadi silang sengketa antara kelompok masyarakat lainnya pihak laki-laki yang terutama sebagai juru bicara dari kaumnya. Tanpa ada yang laki-laki mungkin orang lain akan bersilantas angan terhadap anggota kaumnya.
Disamping itu bimbingan kepada kemenakan yang perempuan tidak kalah pentingnya, karena dialah sebagai penyambung garis keturunan dan pewaris harta pusaka. Peranan ibu di rumah gadang sangat diutamakan disamping mamak laki-laki yang selalu “siang maliek-liekan, malam mandanga-dangakan, manguruang patang, mangaluakan pagi” (siang melihat-lihatkan, malam mendengar-dengarkan, mengeluarkan pagi mengurung sore), dengan pengertian tidak terlepas dari pengawasannya.
Dengan demikian tali kekerabatan mamak kemenakan merupakan tali yang menunjukkan kepemimpinan dan pewarisan keturunan yang berkesinambungan, yang diturunkan dari nenek kepada mamak, dari mamak kepada kemenakan.

Sumber : minangkabau.info


Ler Mais

Undang-Undang


UNDANG - UNDANG

1. Undang - Undang
Tujuan adat Minangkabau bermuara kepada cita-cita untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, sebagaimana dikatakan : bumi sanang padi manjadi, padi masak jaguang maupiah, taranak bakambang biak, antimun mangarang bungo, nagari aman santoso (bumi senang padi menjadi, padi masak jagung meupih ternak berkembang biak, antimun mengarang bunga, nagari aman sentosa).
Cita-cita tersebut tidak akan tercapai bila tidak ada norma-norma adat dan undang-undang adaaat yang mengaturnya. Kelihatannya orang tua-tua Minangkabau masa dahulu yang dipimpin oleh Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang telah menyusun undang-undang adat yang akan dijadikan pedoman serta pengalamannya untuk mewujudkan cita-cita masyarakat yang diinginkan di atas.
Undang-undang yang disusun tersebut memegang peranan penting untuk memperkokoh kesatuan dan persatuan, keamanan dan ketentraman masyarakat Minangkabau masih kuat dengan adatnya. Barangkali itulah sebabnya sampai saat ini orang Minangkabau masih kuat dengan adatnya lantaran warisan yang diterma dilandasi oleh undang-undang dan peraturan adat yang harus dipedomani, dihayati serta diamalkan. Undang-undang merupakan tali pengikat bagi setiap lembaga yang ada seperti raantau, luhak, nagari, maupun seluruh warga masyarakatnya.
Dengan kata lain undang-undang gunanya untuk mengatur hubungan nagari dengan nagari, luhak dengan luhak, alam dengan rantau, untuk mengatur keamanan, kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat dalam nagari.
Sebagai sendi dari undang-undang adat yaitu : cupak nan duo, kato nan ampek (cupak yang dua, kata yang empat). Cupak yang dua adalah cupak usali (cupak asli) dan cupak buatan. Sedangkan kato nan ampek adalah kato pusako, kato mupakat, kato dahulu dan kato kudian. Kesemua materi di atas akan menjadi pembahasan dalam bahagian bab ini.
Undang - Undang Nan Ampek
Undang-undang yang telah disusun oleh orang tua-tua Minangkabau dahulu telah dikategorikannya atas empat bahagian atau dalam adat dikatakan. Undang-undang nan ampek (undang-undang yang empat). Undang-undang nan ampek ini adalah undang-undang luhak, undang-undang nagari, undang dalam nagari dan undang-undang duo puluah (dua puluh).
a. Undang-Undang Luhak Dan Rantau.
Undang-undang luhak dan rantau mengatur hal-hal yang berkaitan dengan luhak dan rantau, seperti tugas penghulu dan rajo di daerah rantau, undang-undang luhak dan rantau ini dikatakan dalam pantun adatnya yang mengatakan:
Mancampak sambia kahulu,
Kanailah pantau dikualo,
Dilatak dalam cupak,
Dijarang jo sipadeh ;
Luah dibari barajo,
Tagak indak tasondak,
Malenggang indak tapampeh
(mencapak sambil kehulu, dapatlah pantau dikuala, diletakkan dalam cupak, dijerangkan dengan sipedas, luhak diberi penghulu, rantau diberi raja, tegak tidak tersundak, melenggang tidak terpempas).
Pengertiannya di daerah luhak yang mengaturnya adalah penghulu, sedangkan di daerah rantau yang akan ganti penghulu disebut rajo. Kedua kepemimpinan ini yaitu penghulu dan rajo mempunyai wewenang penuh di daerah masing-masing, sebagaimana dikatakan �tagak indak tasondak, malenggang indak tapampeh�.
b. Undang-Undang Nagari
Undang-undang nagari mengatur segala sesuatu mengenai nagari sebagai satu kesatuan masyarakatt hukum adat. Menurut undang-undang mengenai nagari dikemukakan oleh taliban adat sebagai berikut :
Anak gadih mangarek kuku, dikarek jo pisau sirauik, pangarek batuang tuo, batuang tuo elok kalantai, nagari baampek suku, dalam suku babuah paruik, kampuang banantuo, rumah batungganai (anak gadis mengerat kuku, dikerat dengan pisau siraut, peraut betung tua, betung tua untuk baik untuk lantai, negeri berkeempat suku, dalam suku mempunyai perut, kampung bertua, rumah bertungganai). Pada mulanya dengan pengertian sebuah nagari mempunyai sekurang-kurangnya terdiri dari empat suku, tiap suku terdiri pula dari perut-perut atau kaum. Dalam sebuah kampung ada yang dituakan setiap rumah gadang ada mempunyai tungganai (mamak yang dituakan).
M. Rasyid Manggis Dt. Rajo Penghoeloe dalam bukunya Sejarah Ringkas Minangkabau dengan adatnya, mengatakan, bahwa nagari baru bisa dikatakan sebuah nagari yang syah bila mempunyai tujuh rukun sebagai berikut:
1. Balabuah batapian
2. Babalai bamusajik
3. Badusun batarak
4. Basawah baladang
5. Babanda buatan
6. Bakabau bajawi, ba tabek ba taman-taman
7. Bagalanggang bapamedanan
Bila diperhatikan undang-undang nagari ini lebih menitik beratkan kepada kelembagaan nagari sebagai tertorial yang berupa kampung, taratak, dusun, koto dan tiap-tiapnya ada pimpinan yang mengaturnya untuk memperlancar mekanisme roda pemerintahan secara adat.
c. Undang-Undang Dalam Nagari
Undang-undang dalam nagari mengatur hubungan antara nagari dengan isinya, antara seseorang dengan seseorang, antara seseorang dengan masyarakat dan sebagainya. Undang-undang dalam nagari juga menggariskan hak dan kewajiban sebagai anggota masyarakat. Undang-undang dalam nagari ini menjamin keamanan dalam nagari karena orang disuruh untuk berbuat sesuatu, dan jika tidak ditaati juga diancam dengan hukuman. Hukum yang paling berat adalah kehinaan yang ditimpakan terhadap diri seseorang, seperti tidak dibawa sehilir semudik, dikeluarkan dari hubungan kekeluargaan dan lain-lain.
Hak dan kewajiban yang dikemukakan dalam undang-undang dalam nagari ini dikemukakan sebagai berikut:
Salah tariak mangumbalikan, salah cotok malantiang, salah lulua mamuntahkan, salah cancang mambari pampeh, salah bunuah mamabari diat, manyalang maantakan, utang dibaia, piutang ditarimo, baabu bajantiak, kumuah basasah, sasek suruik talangkah kumbali, gawa maubah, cabua dibuang, buruak dipabaiki, lapuak dikajangi usang dipabarui, tangih baantokan, jatuah basambuik, salah kapado tuhan mintak tobat, salah kapado manusia minta maaf, suarang baagiah, sekutu babalah.
d. Undang-Undang Nan Duo Puluah
Undang-undang nan duo puluah (undang-undang yang dua puluh). Yaitu undang-undang yang berhubungan dengan hukm dan penyelesaian hukum. Menegakkan keadilan dan kebenaran serta menjaga ketertiban merupakan syarat yang harus dipertahankan di tengah-tengah masyarakat. Menegakkan ketertiban dan keamanan serta menghukum orang yang berbuat salah adalah merupakan jaminan amannya masyarakat dan lancarnya segala pekerjaan dalam nagari.
Melihat jenis kejahatan maka undang-undang duo puluah dibagi atas dua bahagian. Pertama undang-undang nan salapan dan yang kedua undang-undang na duo baleh.
Yang termasuk undang-undang nan salapan adalah sebagai berikut:
1. Dago dagi mambari malu
2. Sumbang salah laku parangai
3. Samun saka tagak di bateh
4. Umbuak umbai budi marangkak
5. Maliang curi taluang diindian
6. Tikam bunuah padang badarah
7. Sia baka sabatang suluah
8. Upeh racun batabuang sayak
Undang-undang nan salapan ini menyatakan kejahatan atau kesalahan besar dan disebut juga �cemo dan bakaadaan� (tuduh yang mempunyai fakta)
1. Dago Dagi Mambari Malu
Dago dagi mambari malu (dago dagi memberi malu), dago merupakan kesalahan yang diperbuat oleh kemenakan kepada mamaknya, sedangkan dagi yakni mamak berbuat salah kepada kemenakannya. Melawan kepada mamak adalah hal yang sangat tercela karena mamak sebagai pimpinan adalah atas pilihan kemenakan-kemenakannya dan didahulukan selangkah, ditinggikan seranting. Oleh karena itu seorang mamak haruslah dihormatinya.
2. Sumbang Salah Laku Parangai
Sumbang salah laku parangai (sumbang salah laku perangai). Sumbang perbuatan atau pergaulan yang salah dipandang mata dan belum dapat dijatuhkan hukuman secara adat. Sebagai contoh sering bertemu kerumah seorang janda yang tidak pada waktunya. Salah adalah perbuatan yang melanggar susila dan dapat dijatuhi hukuman secara adat. Sebagai contohnya �manggungguang mambaok tabang� (menggunggung membawa terbang), maksudnya melarikan isteri orang.
3. Samun Saka Tagak Di Bateh
Samun saka tagak di bateh (samun sakal tegak di batas), samun maksudnya mengambil barang orang lain dengan paksa di tempat yang lengang dan dilakukan di daerah perbatasan. Di daerah perbatasan seperti antara batas luhak dengan rantau. Hal ini sudah diperhitungkan oleh penyamun karena sulit untuk mengusutnya nanti secara hukum.
Saka juga menghadang di tempat yang lengang untuk merampas barang orang lain tidak segan-segan melakukan pembunuhan.
4. Umbuak Umbai Budi Marangkak.
Umbuak (umbuk), maksudnya menipu orang lain dengan mulut manis sehingga orang terpedaya. Umbai, maksudnya menipu dengan jalan ancaman. Ada juga pendapat yang mengatakan umbuak umbai ini dengan �kicuah kicang�. (penipuan yang sangat lihai sekali).
5. Maliang Curi Taluang Dindiang
Maliang (maling), mengambil barang orang lain pada malam hari. Sebagai bukti orang maling itu masuk kerumah orang lain taluang dindiang (terluang dinding). Maksudnya ada buktinya dinding yang berlobang atau rusak tempat orang maling itu masuk. Curi yaitu mengambil barang orang lain tanpa sepengetahuannya pada siang hari.
6. Tikam Bunuah Padang Badarah
Tikam, maksudnya menikam senjata tajam kepada orang lain sampai luka. Sebagai buktinya bahwa dia telah melakukan penikaman, senjata yang dipergunakannya berdarah. Bunuah (bunuh), melenyapkan nyawa orang lain dengan bukti mayat terbujur.
7. Sia Baka Sabatang Suluah
Sia (siar) maksudnya menyulutkan api kepada sesuatu barang tetapi tidak sampai menghanguskan. Baka (bakar), maksudnya menyulutkan api sampai menghanguskan, seperti rumah menjadi abu. Sebagai buktinya ada puntung suluh yang terdapat di sekitar tempat tersebut.
8. Upeh (racun)
Upeh (upas), maksudnya ramuan yang dijadikan racun dan ramuan ini dapat mematikan. Racun sejenis tuba yang dapat membunuh orang dengan seketika. Lengkapnya dikatakan upeh racun batabuang sayak (upas racun bertabung sayak). Tabung sayak sebagai alat bukti yang dipergunakan untuk menyimpan upas dan racun tadi. Sebagai pembuktian pada masa dahulu sisa makanan diberikan kepada hewan dengan sayak (tempurung) yang dipergunakan untuk meletakkan racun tersebut.
Undang-undang nan duo baleh merupakan bagian dari undang-undang nan duo puluah. Yang termasuk undang-undang nan duo baleh ini adalah sebagai berikut:
1. Talala takaja
2. Tacancang tarageh
3. Takacuik tapukua Putuih tali
4. Tumbang ciak
5. Anggang lalu ata jatuah
6. Bajalan bagageh-gageh
7. Pulang pai babasah-basah
8. Bajua bamurah-murah
9. Panyakik dibaok langau
10. Tabayang tatabua
11. Kacondong mato rang banyak
Undang-undang nan duo baleh ini dibagi pula atas dua bahagian yaitu undang-undang nan anam dahulu dan undang-undang nan anam kudian. Undang-undang nan anam dahulu dikatakan juga �tuduah�. Sangka yang berkeadaan, jatuh kepada bukti yang bersuluah matahari, (bergelenggang mata orang banyak). Sedangkan undang-undang nan anam kemudian dikatakan �cemo� atau syakwasangka, apakah seseorang itu melakukan pekerjaan tersebut atau tidak. Untuk jelasnya akan dibicarakan satu-persatu dari undang-undang nan duo baleh di atas.
1. Talala Takaja
Talala (terlala), maksudnya orang yang tertangkap ketika ingin lari setelah berbuat kesalahan. Takaja (terkejar), maksudnya orang yang melakukan kesalahan seperti mencuri kemudian melarikan diri. Setelah dikejar orang tersebut dapat ditangkap beserta barang buktinya.
2. Tacancang Tarageh
Tacancang (tercencang), maksudnya orang yang melakukan kesalahan mendapat pukulan atau kena senjata tajam dari orang yang menangkapnya. Pukulan dan senjata tajam tadi mempunyai bekas pada tubuh orang yang melakukan kesalahan tersebut. Tarageh, maksudnya si pelaku kejahatan dapat ditangkap dan kepalanya digundul secara terburu buru dan ini dapat dijadikan sebagai satu bukti juga.
3. Talacuik Tapukua
Talacuik (terlecut), maksudnya si tertuduh kena lecut oleh orang yang menangkapnya, dan dapat dibuktikan bekasnya pada badannya. Tapukua (terpukul), maksudnya orang yang berbuat kesalahan kena pukul, dan pukulan ini membekas pada badannya.
4. Putuih Tali
Putuih tali (putus tali), maksudnya keterangan yang diberikan oleh seseorang yang membuat dirinya bebas dari tuduhan. Tetapi setelah disiasati ternyata keterangan yang diberikannya bohong sama sekali dan dia tidak dapat mengelakkan diri.
5. Tumbang Ciak
Tumbang artinya berbunyi keras, dan ciak pengertiannya hiruk pikuk. Pengertiannya ketika kejahatan dilakukan terjadi sesuatu yang menimbulkan bunyi keras. Akibat bunyi keras itu orang terpekik atau bersorak yang menimbulkan hiruk pikuk. Tujuannya agar perbutan si tertuduh diketahui oleh orang banyak.
6. Anggang Lalu Atah Jatuah
Anggang lalu atah jatuah (enggang lalu atah jatuh), arti secara kata-kata ketika burung enggang terbang melewati pohon saat itu buahnya jatuh. Ada pula yang mengatakan �enggang lalu atah jatuah�. Enggang bukan burung melainkan orang sedang mengisi atau mengayak untuk memisahkan atah dengan beras. Saat itu atah dan beras jatuh kebawah pada lobang-lobang kisaian.
Yang kedua belum ada lagi penelitian. Namun demikian keduanya mempunyai pengertian yang sama terhadap suatu peristiwa kejahatan. Maksudnya pada waktu peristiwa itu terjadi, ada orang yang lalu ditempat itu. Secara tidak langsung orang yang lalu itulah yang dituduh melakukan perbuatan tersebut.
7. Bajalan Bagageh-Gageh
Bajalan bagageh-gageh (berjalan bergegas-gegas), meksudnya ada seseorang yang kelihatan oleh orang lain berjalan terburu-buru seperti orang ketakutan di tempat kejahatanter jadi. Orang berprasangka dialah yang melakukan perbuatan tersebut.
8. Pulang Pagi Babasah-Basah
Pulang pagi babasah-basah (pulang pagi berbasah-basah), maksudnya kecurigaan timbul terhadap diri seseorang berkenaan ketika kejadian, orang tersebut keluar atau datang dari tempat tersebut dengan pakaian yang tidak terurus dan tubunya basah atau berlumpur.
9. Bajua Bamurah-Murah
Bajua bamurah-murah (menjual bermurah-murah). Maksudnya kedapatan oleh orang atau diperoleh berita, bahwa orang yang dicurigai menjadi barang dengan harga yang tidak sepantasnya. Akibatnya timbul syakwasangka, orang tersebutlah yang melakukan kejahatan itu.
10. Panyakik Dibaok Langau
Penyakik dibaok langau (penyakit dibawa langau). Maksudnya ketika terjadi suatu peristiwa yang menggemparkan masyarakat, ada orang yang meninggalkan kampung atau nagarinya secara diam-diam. Kecurigaan timbul kalau dihubungkan dengan kelakuannya selama ini.
11. Tabayang Tatabua
Tabayang tatabua (terbayang tertabur), maksudnya ketika peristiwa terjadi orangnya tidak tertangkap. Namun dari kejauahn kelihatan secara samar-samar di tempat yang gelap si pelakunya. Setelah dicocokan degan bentuk, pakaian, dan lain-lain orang amai mencurigainya, bahwa dialah pelakunya.
12. Kacondongan Mato Rang Banyak
Kacondong mato rang banyak (kecenderungan mata orang banyak), maksudnya dalam suatu peristiwa orang banyak cepat memberi tuduhan kepada seseorang, karena selama ini orang yang dicurigai sudah runciang tanduak (runciang tanduk) juga. Dengan pengertian orang yang dicurigai sudah seringkali berbuat kejahatan. Padahal belum tentu dia yang berbuat kejahatan tersebut.
Cupak Nan Duo
Cupak nan duo (cupak yang dua). Arti cupak dalam kehidupan sehari-hari oleh orang Minangkabau adalah suatu ukuran yang terbuat dari bambu dan dipergunakan untuk menakar beras. Cupak ini dibuat dari seruas bambu dan tidak bisa lebih dari satu ruas atau dikatakan sepanjang batuang (bambu) : yang dimaksudnya sepanjang ruas dari bambu tersebut.
Untuk keseragaman jumlah isi dari cupak tersebut maka dibuat kesepakatan bersama, bahwa semua cupak harus berisi seberat 12 tahil (satu tahil beratnya 16 emas), satu emas sama dengan 2 ½ gram. Pada saat sekarang tentu ukuran ini tidak dipakai lagi karena sudah ditemui alat ukur yang lain. Cupak yang telah dijadikan ukuran bersama ini dikatakan “cupak usali” atau cupak asli. Berpedoman dari cupak asli ini ada cupak yang lain dibuat orang sebagai ukuran dan disebut sebagai “cupak buatan”. Sesuai dengan falsafah alam takambang jadikan guru, maka arti tersurat dari cupak ini diberi pengertian tersirat yang ada kaitannya dengan adat Minangkabau yang dikenal sampai saat ini dengan “cupak usali dan cupak buatan”.
Cupak sepanjang betung dan adat sepanjang jalan, maksudnya segala sesuatu yang telah digariskan oleh adat menurut alur, dan patut serta mungkin, tidak boleh dikurangi atau dilebihkan, dan harus dituruti. Ibarat cupak hanya menurut ruas betung dan tidak lebih, baik ukuran maupun isinya. Demikian pula yang dimaksud dengan adat sepanjang jalan. Yaitu segala sesuatu hendaklah sepanjang adat yang berlaku dan tidak boleh menyimpang. Jadi pengertian jalan adalah jalan adat, bukanlah tempat lalu.
Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini : jika meninggal Dt. Hitam, maka gelar pusaka dan harta pusakanya jatuh kepada ahli waris atau keturunan Dt. Hitam dalam kaumnya sendiri, dan tidak boleh diwarisi oleh kaum lain. Kalau terjadi di luar itu tidak lagi bercupak sepanjang betung dan beradat sepanjang jalan.
Habis cupak karena pelilisan, habis adat berkelirahan secara arti tersurat, maksudnya mencupaki sesuatu diakhiri dengan melilisnya agar tidak mengurangi atau melebihi. Habis adat berkeliaran, maksudnya ada unsur kompromi satu sama lain sehingga sama-sama senang dan tidak ada yang dirugikan.
Sebagai contoh dapat dikemukakan saebagai berikut: dalam menjemput marapulai bisa terjadi adanya perbedaan dengan syarat-syarat berbeda. Bila dituruti adat masing-masing nagari tidak akan terdapat persesuaian, sebab lain padang, lain belalang, lain lubuk lain ikan, lain nagari lain adatnya. Karena ada kompromi akhirnya terdapat persesuaian tanpa mengurangi makna dari pada menjemput marapulai tadi.
Mengenai arti tersirat dari cupak usali dari cupak buatan dapat dikemukakan beberapa pendapat:
1. D. Djamaludin Sutan Maharajolelo mengatakan :
Adapun yang dikatakan cupak asli, yang betul seumpama sembahyang lima waktu sehari semalam dan diperlukan sembahyang jumat sekali seminggu menurut kitabullah, dengan tidak boleh ditambah dan dikurangi. Cupak buatan itu ialah putusan penghulu-penghulu dalam nagari atau luhak yang ditentukan hingga batasnya (hak), supaya genggam beruntuk duduk berpenghadap.
2. Muhammad Rasyid Manggis Dt. Rajo Penghulu mengatakan:
Cupak usali menurut adat dikiaskan kepada ukuran yang telah ditetapkan, tidak boleh dibandingkan lagi dan berlaku selama-lamanya, karena dijadikan teladan “standar” atau “measure” yang akan ditiru atau dipedomani. Yang diaktakan cupak buatan yaitu pencaharian segala penghulu. Urang tuo-tuo dan cadiak pandai dalam nagari dipateri dengan : “tanduak dibanam – darah dikacau, dagiang dilapah, dilicak pinang, ditapuang batu”.
3. Prof. Mr. M. Nasroen
Yang paling umum penafsiran kepada cupak nan duo adalah tafsiran yang dikemukakan oleh M. Nasroen ini. Cupak usali adalah sesuatu yang seharusnya menurut alur dan patut yang kalau tidak dituruti akan terjadilah apa yang menurut fatwa adat “diasak layua dibubui mati” (dipindahkan layu dicabut mati). Demikian menurut cupak usali ialah “gantang nan papek, bungka nan dipiawai, taraju nan indak bapaliang, bajanjang naiak, batanggo turun, nan hitam tahan tapo, namun putuih tahan sasah, baukua banjangkokan, nan babarih nan bapahek, bab batakuak nan batabang", (gantang yang pepat, bungkai yang piawai, taraju yang tidak berpaling, berjenjang naik berrtangga turun, yang hitam tahan tepa, yang putih tahan cuci, berukur berjangkakan, yang bergaris yang berpahat, yang bertakuk yang ditebang). Cupak buatan ialah sesuatunya atas putusan permufakatan, yang boleh diperlonggar dan diturun dipernaikkan menurut zaman dan keadaan.
Dari pendapat-pendapat yang telah dikemukakan mengenai penafsiran cupak nan duo, kelihatan adanya unsur-unsur persamaan dan perbedaan. Kesamaan dalam hakekat tingkatan adanya unsur persamaan dan perbedaan. Kesamaan dalam hakekat tingkatan kekuatan yaitu cupak usali menggariskan bahwa tindakan, perbuatan bagi seorang individu maupun masyarakat tidak boleh menyimpang dengan ketentuan-ketentuan atau norma-norma yang telah diwarisi. Untuk memperkuat ketentuan ini diumpamakan kepada hukum alam, seperti dikatakan nan babarih nan bapahek, nan batakuan nan batabang (yang berbaris yang dipahat yang bertakuk yang ditebang).
Demikian pula pada persamaan penafsiran kepada cupak buatan, yaitu ketentuan-ketentuan dalam adat kemudian di atas kesepakatan penghulu-penghulu yang disesuaikan dengan keadaan dan waktu. Secara tidak langsung cupak buatan suatu pengakuan, bahwa adat Minangkabau itu tidak statis, malainkan elastis yang dapat menyesuaikan diri dengan zamannya. Perbedaan hanya pada contoh-contoh yang diberikan, ada yang menitik beratkan kepada segi hukum, ada yang berkaitan dengan nilai. Contoh dapat dibuat bermacam-macam tetapi jiwa “cupaknya” satu saja. Yang dimaksud cupak tidak lain ukuran, takaran, ketentuan yang telah digariskan oleh adat.
Kalau dapat dikatakan cupak usali atau cupak buatan mengatur pelaksanaan apa-apa yang telah digariskan baik yang berupa warisan maupun yang diatur kemudian, dan ini tercermin dalam tingkah laku perbuatan masyarakat adat. Bila dikaitkan antara adat nan sabana adat dengan cupak usali adalah, adat nan sabana adat berupa ketentuan, norma yang digali berdasarkan hukum-hukum alam sedang cupak usali merupakan pelaksanaan dari padanya dan tidak boleh menyimpang apalagi bertentangan.
Kato Nan Ampek
Pengertian kata dalam kato nan ampek (kata yang empat), merupakan arti tersirat. Sedangkan arti sebenarnya tidak lain dari pada norma-norma, peraturan-peraturan, ketentuan-ketentuan yang diungkapkan dalam bentuk ungkapan-ungkapan, mamangan, petitih, petatah, peribahasa dan lain-lain. Kesemuanya itu dijadikan pedoman, dihayati serta diamalkan dalam kehidupan masyarakat. Berdasarkan urutan sejarah terdapat atau lahirnya kata-kata yang mengandung norma-norma tadi dan bagaimana pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari maka dalam adat Minangkabau kata tersebut dalam adat adalah sebagai berikut :
1. Kato Pusako
Kato pusako (kata pusaka) itu diwarisi, dengan pengertian segala ketentuan-ketentuan yang telah dituangkan dalam bentuk petatah petitih dan lain-lain merupakan peninggalan-peninggalan nenek moyang orang Minangkabau pada masa dahulu terutama dari tokoh-tokoh adatnya, yaitu Datuak Ketumanggungan dan Datuak Perpatih Nan Sabatang. Ketentuan-ketentuan yang berupa fatwa-fatwa adalah merupakan kebenaran yang harus dipedomani dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Yang termasuk kata pusaka dapat dikemukakan sebagai berikut:
Nan babarih nan bapahek,
Nan baukua nan bajangko
Mamahek mahuju barih
Tantang bana lubang katabuak
Manabang manuju pangka
Malantiang manuju tangkai
Tantang buah kalareh
Kok manggayuang sabana putuih
Malantiang sabana lareh
(yang bergaris yang dipahat, yang berukur yang berjangka, memahat menuju garis, tepat benar lobang yang akan tembus, menebang menuju pangkal, melempar menju tangkai, tepat benara buah akan jatuh, jika menggayung sebenar putus, kala melempar betul-betul jatuh).
Hakekat kato pusako terletak dalam “bakato sapatah sadang”. Dalam kata sepatah, "yang genting putus, yang biang tembus. Pada kata pusaka tidak ada kompromi atau toleransi, tidak ada sanggah banding, tidak ada ulur tarik, tidak ada tolak ansur. Rumah sudah tukang dibunuh, nasi masak periuk pecah". Dengan pengertian semua apa yang dikemukakan oleh kata pusaka hendaklah dipedomani dan diamalkan secara konsekwen.
2. Kato Mufakat
Kata mufakat merupakan hasil permufakatan melalui musyawarah tentang memecahkan suatu masalah, atau hasil permufakatan itu bisa juga menghasilkan ketentuan-ketentuan yang bermanfaat bagi kehidupan bersama.
Kata mufakat juga memberikan kesempatan, bahwa sesuatunya dapat disesuaikahn dengan situasi, asal ada kemufakatan. Disini juga memperlihatkan bahwa adat Minangkabau itu bukan statis melainkan dinamis sesui dengan zamannya.
Mencari kata mufakat dikatak dalam adat sebagai berikut:
Dicari rundiang nan saiyo,
Baiyo-iyo jo adiak,
Batido-tido jo kakak
Babana-bana jo bundo
Dibulekkan aia kapambuluah
Dibulekkan kato jo mufakat
Buruak di buang jo etongan
Elok ditariak jo mufakat
(dicari runding yang seiya, beriya-iya dengan adik, bertidak-tidak dengan kakak, bersungguh-sungguh dengan bunda, dibulatkan air ke pembuluh, dibulatkan kata ke mufakat, buruk dibuang dengan perhitungan, elok ditarik dengan mufakat).
Bila sudah diperoleh kesepakatan barulah dilaksanakan secara konsekwen sebagaimana dikatakan, "kok lah dapek kato sabuah, kok bulek pantang basuduik, kok pipih pantang basandiang, tapauik makanan lantak, takuruang makanan kunci" (bila sudah dapat kata sebuah, bulat tidak bersudut, ceper tidak bersanding, yang terikat makanan lantang, yang terkurung makanan kunci).
Dalam mencari kata mufakat tidak dikenal sistem suara terbanyak. Oleh sebab ada perbedaan pendapat maka persoalannya ditangguhkan terlebih dahulu sehingga yang berbeda pendapat itu dapat lagi berfikir dan biasanya diadakan perembukkan.
3. Kato Dahulu Batapati
Kata dahulu ditepati mempunyai pengertian bahwa segala ketentuan yang telah disepakati, baik keputusan dalam memecahkan sesuatu masalah ataupun norma-norma yang telah disepakati untuk kepentingan hidup bersama tidak boleh menyimpang dari hasil kesepakatan tadi. Kalau terjadi penyimpangan berarti tidak ditepati apa yang telah diputuskan atau diikrarkan tersebut. Ketentuan adatnya mengatakan : “pitaruah indak diunyikan, pasan indak dituruti” (pitaruh tidak tunggui, pesan tidak dituruti).
Contoh dari kata dahulu ditepati seperti janji yang telah dibuat sebelumnya dan janji ini hendaknya ditepati oleh kedua belah pihak dan dalam adat dikatakan “janji harus ditepati, ikrar harus dimuliakan”.
4. Kato Kemudian Kato Bacari
Kata kemudian kata dicari dapat ditafsirkan atas dua pengertian. Dalam pengertian positif dapat diartikan, bahwa adanya pemikiran baru yang lebih baik dari pada yang disepakati sebelumnya dengan alasan pikiran indak sama sekali tumbuah ingatan indak sakali tibo, dengan pengertian ada kesepakatan untuk memperbaiki mengubah segala yang telah diputuskan sebelumnya asal saja ada kesepakatan bersama.
Dalam pengertian negatif yaitu adanya keinginan untuk menolak terhadap apa yang diputuskan tanpa dasar yang kuat, sedangkan sebelumya sudah diterima dan disepakati. Menurut adat orang yang bersikap seperti ini dikatakan : "kok duduaknyo alah bakisah, kok tagaknya lah bapaliang, mancaliak jo suduik mato, bajalan dirusuak labuah". (jika duduknya sudah berkisar, tegaknya sudah berpaling, melihat dengan sudut mata, berjalan dipinggir jalan).

Sumber :minang.info

Ler Mais

Nagari


NAGARI

1. Asal Kata Nagari
Sebagai poin pertama akan dikemukakan asal kata nagari. Sebuah pendapat mengatakan, bahwa nagari bukanlah kata asli Minangkabau. Kata nagari berasal dari bahasa sansekerta yaitu “nagara”, yang dibawa oleh bangsa Hindu yang menetap di tengah-tengah masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat tengah pada masa Hindu . Kemungkinan bangsa Hindu (bangsa asing) tersebutlah yang menciptakan pembagian nagari, serta mengelompokkan mereka dalam suku-suku. Nagari-nagari kecil itu merupakan bentuk negara yang berpemerintahan sendiri (otonom).
Sebelum masuknya pengaruh Hindu ke Sumatera Barat , belum ditemukan istilah lembaga nagari tersebut. Perkauman Minangkabau masih terbagi dalam berbagai-bagai kelompok genealogis, yang mendiami tanah-tanah tertentu. Jika sebelum pengaruh Hindu datang sudah ada pembagian nagari, tentu sudah ada istilah di dalam logat Minangkabau.
Dari penyelidikan para ahli, pengaruh Hindu terhadap Indonesia sangat besar sekali dari berbagai aspek, seperti bahasa, pemerintah, kepercayaan, seni ukir dan lain-lain.
Ditinjau dari segi bahasa bahkan sampai sekarang kata-kata melayu kuno atau sansekerta masih memperbanyak, memperkaya bahasa Indonesia dan juga bahasa daerah Minangkabau.
Asal Nagari Menurut Pertumbuhannya
1. Taratak
Dalam adat asal nagari menurut pertumbuhannya dikatakan :
Taratak mulo dibuek
Sudah taratak manjadi dusun
Sudah dusun manjadi koto
Sudah koto jadi nagari
(taratak mula dibuat, sudah taratak menjadi dusun, sudah dusun menjadi koto, sudah koto menjadi nagari)
Dari ketentuan di atas maka tempat yang mula-mula didiami oleh nenek moyang orang Minangkabau adalah taratak. Taratak asal kata dari “tatak” yang berarti membuat. Pengertian membuat yaitu membuat tempat tinggal. Sebagian pimpinan pada taratak ini adalah kepala taratak (tuo taratak).
2. Dusun
Pertumbuhan dari taratak menjadi dusun. Orang yang tinggal dalam satu dusun, telah mempunyai peraturan-peraturan hidup bermasyarakat sesama anggota dusun. Pada dusun ini belum didirikan rumah gadang. Sebagai pimpinan di dusun ini disebut kepala dusun (kapalo dusun).
3. Koto
Koto berasal dari bahasa sansekerta, yaitu “kuta” yang berarti suatu tempat yang diperkuat untuk menahan serangan musuh. Pada masa dahulu di Minangkabau, koto dipagar dengan bambu berduri dan adakalanya dilingkari dengan tanah dan batu. Pada saat sekarang tidak dijumpai lagi koto yang dipagari dengan bambu berburi.
Di dalam koto sudah terdapat kumpulan rumah gadang yang didirikan berdekat-dekatan dan masing-masing mempunyai pekarangan. Pada mulanya koto didiami oleh orang-orang yang berasal dari sebuah paruik (peru) dari nenek yang sama. Lama kelamaan kumpulan rumah gadang yang ada di koto ini ditambah dengan rumah baru yang didirikan oleh orang-orang yang datang kemudian. Orang baru yang datang ke koto tersebut harus seizin dari orang yang mendirikan koto tersebut.
4. Nagari
Gabungan dari koto merupakan nagari. Penduduk suatu nagari merupakan satu satuan sosial, yang berdasarkan kebudayaan dan kebatinan. Nagari mempunyai hak otonom sendiri dan mempunyai wilayah dan batas-batas tertentu dengan nagari lainnya.
Nagari Nan Ampek
Pada masa dahulu syarat sebuah nagari terdiri dari empat suku, sedangkan bahkan sebuah nagari lebih dari empat suku. Dalam pesukuan penghulu suku dibantu oleh manti, mali, dan dubalang. Orang-orang inilah yang disebut sebagai orang ampek jinih (empat jenis).
Orang ampek jinih mempunyai tugas dan kewajiban yang berlain-lainan, dan masing-masing berdiri sendiri di atas tempatnya dan bersifat turun-temurn. Tiap-tiap suku pada masa dahulu terdiri dari atas kampung-kampung, dan tiap suku tidak sama jumlah kampungnya. Berdasarkan banyaknya dapat disebutkan:
1. Suku nan sambilan (9 kampung)
2. Suku nan ampek (4 kampung)
3. Suku nan limo (5 kampung)
4. Suku nan anam (6 kampung)
Ikatan batin antara orang yang sesuku sangat besar sekali, karena mereka yang sesuku beranggapan berasal dari satu nenek yang sama pada masa dahulunya. Rasa seberat seringan, sehina semalu antara orang sesuku dikatakan, malu tak dapek dibagi, suku tak dapek dianjak (malu tidak dapat dibagi, suku tidak dapat dipindahkan).
Ikatan Kekeluargaan Dalam Nagari Nan Ampek
Penduduk suatu nagari bukan saja merupakan satu kesatuan sosial, tetapi mereka juga diikat oleh kehendak ingin hidup bersama dengan rukun. Mereka juga patuh kepada norma-norma pergaulan hidup bersama.
Setelah hidup bersama dalam suatu nagari, orang-orang yang berasal dari berbagai suku itu akhirnya menjadi satu perkauman teritorial dan mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama. Hal ini menimbulkan semangat gotong-royong, saling tolong-menolong dan ingin menciptakan kedamaian sesama masyarakat nagari. Segala permasalahan baik dan buruk semuanya dilaksanakan secara musyawarah.
Kerapatan adat nagari, merupakan dewan tertinggi dalam nagari. Berbagai permasalahan yang tidak terselesaikan pada tingkat bawah diputuskan dalam kerapatan adat nagari. Pengesahan dari kerapatan adat nagari mengenai sesuatu permasalahan merupakan pengesahan tertinggi. Dalam hal ini tentu yang berkaitan dengan permasalahan adat.
Demikian pula segala sesuatu yang sifatnya menyangkut nagari, harus sampai ketingkat kerapatan adat nagari. Sebagai contohnya pengangkatan penghulu, mendirikan rumah gadang dan lain-lain.
Kerapatan adat nagari juga mempunyai hak untuk membuat peraturan-peraturan yang berguna untuk kepentingan anak kemenakan. Hal ini dikatakan juga sebagai adat yang teradat, yaitu adat yang bersumber dari kesepakatan ninik mamak dalam nagari, dan tidak bertentangan dengan adat yang diadatkan.
Untuk kesejahteraan anak nagari, maka nagari juga mempunyai sumber-sumber pendapatan. Orang yang mengerjakan tanah ulayat harus menyerahkan sebahagian hasilnya yang telah ditentukan oleh adat kepada nagari. Hasil-hasil yang dipungut dari hutan, laut, sungai yang berada dalam wilayah nagari sebahagian harus diserahkan pada nagari. Dalam adat dikatakan : “karimbo babungo kayu, kalauik babungo karang, ka ladang babungo ampiang”, (kerimba berbunga kayu, kelaut berbunga karang, ke ladang berbunga emping).
Syarat Berdirinya Sebuah Nagari
Pada masa dahulu berdirinya sebuah nagari apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Babalai (mempunyai balairung adat)
2. Bamusajik (mempunyai mesjid)
3. Balabuah (mempunyai jalan raya)
4. Batapian (mempunyai tempat mandi umum)
Jadi dari syarat nagari yang dikemukakan di atas terlihat sebuah nagari itu hendaklah menunjukan masyarakat yang beragama, beradat, mempunyai prinsip musyawarah berperekonomian yang baik. Dengan syarat-syarat nagari ini hendaknya diwujudkan masyarakat yang aman dan sentosa, lahir dan batin. Dalam adat dikatakan “bumi sanang padi manjadi, padi masak jaguang maupiah, taranak bakambang biak, nagari aman santoso”, (bumi senang padi menjadi, padi masak jagung mengupih, ternak berkembang biak, negeri aman sentosa).
Bila diuraikan lagi persyaratan nagari di atas dapat dikemukakan, mesjid adalah simbol dari agama. Mesjid tempat melakukan ibadah dan juga mesjid tempat bermusyawarah mengenai hal-hal yang berkaitan dengan agama. Secara tidak langsung dengan adanya mesjid juga menunjukan, bahwa masyarakatnya adalah pemeluk agama islam.
Balai adat sebagai perlambang, bahwa musyawarah merupakan landasan untuk menghadapi dan memecahkan sesuatu permasalahan yang terdapat dalam nagari. Labuah adalah sebagai sarana perhubungan dan ekonomi masyarakat, sedangkan tapian tempat mandi merupakan lambang bahwa masyarakat nagari hendaklah menjaga kebersihan dan kesehatan.
Kebesaran Nagari
Yang menjadi kebesaran nagari adalah sebagai berikut :
Basawah baladang
Baitiak baayam
Batabek batanam ikan
Bapandam bapakuburan
Bakorong bakampuang
Badusun batarak
(bersawah berladang, beritik berayam, bertebat tempat memelihara ikan, berpandam berpekuburan, berkorong berkampung, berdusun bertaratak).
Dilihat dari kebesaran nagari tersebut dapatlah disimpulkan, bahwa nagari harus mempunyai sawah ladang sebagai tempat sumber kehidupan masyarakatl. Dalam sebuah nagari juga ada taratak dan dusun, sebagai tempat berladang bagi anak nagari. Taratak dan dusun jauh dari pusat nagari. Taratak merupakan hutan jauah diulangi (hutan jauh diulangi), maksudnya tempat perulangan bagi orang kampung untuk mengolah ladang. Kadang-kadang mereka mendiami taratak, tinggal diperladangannya, dan adakalanya pulang ketempat asal. Dusun dikatakan juga hutan dakek dikendono-I atau (hutan dekat dipelihara). Dusun juga tempat perladangan bagi penduduk kampung. Perladangan itu sudah dikendonoi dan dipelihara baik. Sudah ada orang bertempat tinggal secara menetap.
Untuk kesejahteraan rakyat nagari, penduduknya juga hendaklah memelihara kerbau, kambing, sapi, ayam dan itik. Hal ini mengingatkan kepada masyarakat bahwa mata pencaharian itu jangan semata mengharapkan hasil pertanian saja. Sebuah nagari juga diberi korong dan kampung-kampung dalam hal ini memudahkan lancarnya roda pemerintahan nagari.
Selanjutnya termasuk kebesaran nagari adalah anak kemenakan atau disebut juga adanya rakyat. Anak kemenakan inilah bersama pimpinan yang akan mewujudkan sebauah nagari menjadi besar.
Perhiasan Nagari
Sebuah nagari agar bersemarak secara lahir dan batin mempunyai persyaratan sebagai berikut :
1. Rumah gadang (rumah adat beranjung)
2. Lumbuang bapereang (lumbung berukir)
3. Ameh perak (emas dan perak)
4. Sawah ladang, banda buatan (sawah ladang, bandar buatan)
5. Kabau, jawi (kerbau dan sapi)
6. Tabek (kolam ikan)
Rumah gadang disamping tempat tinggal tetapi juga membawa semarak atau dapat dijadikan perhiasan oleh sebuah nagari. Bangunannya yang anggun penuh dengan ukiran dan tersusun rapi dan dipagar dengan pohon puding memberi arti tersendiri bagi orang yang memandangnya. Demikian pula lambung berukir atau rangkiang yang berderet di depan rumah gadang juga menambah cahaya nagari.
Sawah ladang bandar buatan juga merupakan perhiasan nagari, karena sawah dibuat babidang di nan data, ladang bajanjang di nan lereang, banda baliku turuik bukik (sawah berbidang di tempat yang datar, ladang berjenjang di tempat yang lereng, bandar berliku menuruti bukit). Secara alamiah telah memberi hiasan kepada sebuah nagari dan secara tersirat memberi hiasan terhadap masyarakatnya yang makmur di bidang perekonomian.
Kerbau dan sapi yang banyak dipelihara oleh anak nagari di padang pengembalaan juga memberikan pemandangan yang romantis. Namun dalam pengertian sebenarnya, kerbau dan sapi sebagai lambang kekayaan masyarakatnnya yang dapat membawa kehidupan rakyat nagari menjadi bersemarak. Demikian pula kolam ikan yang terdapat di tiap-tiap nagari juga merupakan hiasan bagi nagari tersebut, dan dari padanya juga mendatangkan hasil. Sebagai perhiasan nagari kelihatannya merupakan perpaduan antara alam dengan manusia dan budayanya.
Pagaran Nagari
Agar sebuah nagari bisa kokoh maka harus di pagar. Yang termasuk pagaran nagari adalah jago, sijanto, mupakai, parik, kawan, luruih, bana (bangun, senjata, mufakat, parit, kawan, lurus, benar). Bila dikelompokkan pula pagaran nagari ini terbagi dua yaitu pagaran yang bersifat kebendaan dan pagaran yang bersifat abstrak.
Senjata dan parit merupakan pagaran yang bersifat kebendaan. Pada masa dahulu untuk mempertahankan nagari dari gangguan luar maka nagari diberi berparit. Tujuannya agar musuh yang datang menjadi tertahan, di samping itu persenjataan juga dipergunakan untuk pertahanan diri.
Selanjutnya yang penting memagari nagari dari ancaman dari dalam nagari sendiri, seperti pelanggaran adat dan penyelewengan terhadap norma-norma adat yang berlaku dan lain-lain. Agar nagari tersebut tetap kokoh maka masyarakat harus jago atau waspada. Segala hal-hal yang mungkin timbul yang sifatnya merusak harus dicegah.
Kemudian setiap menghadapi permasalahan atau mengambil keputusan harus dilaksanakan melalui jalan mufakat. Dengan adanya musyawarah mencari mufakat maka segala pertikaian yang sifatnya memecah kesatuan dapat dihindari. Juga dalam menjalankan kehidupan sehari-hari sifat selalu mencari kawan sangat diutamakan. Harus pandai berkawan sesama anggota masyarakat agar tidak terjadi silang sengketa yang merugikan.
Agar nagari aman sentosa juga sifat lurus dan benar harus dimiliki masyarakatnya. Masyarakatnya diminta untuk menuruti segala sesuatu yang telah digariskan oleh adat dan tidak boleh menyimpang. Bila terjadi penyimpangan tentu akan menimbulkan keresahan dalam masyarakat itu sendiri, sifat “luruih” juga harus dimiliki oleh seseorang dalam pergaulannya sesama anggota masyarakat.
Yang terakhir bahwa kebenaran harus ditegakkan walaupun yang salah itu keluarga sendiri. Sebagaimana dikatakan tibo dimato indak dipiciangkan, tibo di paruik indak dikampihkan (tiba di mata tidak dipicingkan, tiba diperut tidak dikempiskan). Mempunyai sifat yang benar dalam kehidupan akan menghindarkan diri seseorang dari sifat penipu dan merugikan orang lain. Bagi pemimpin dalam tugasnya supaya bakato bana ma hukum adia (berkata benar menghukum adil).
Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa pagaran nagari bukanlah terletak dari kekuatan fisik semata, melainkan terletak pula pada pemahaman dan kepatuhan terhadap ajaran adat itu sendiri.
Batasan Nagari
Batas nagari ditentukan oleh batas-batas alam seperti sungai, bukit, hutan dan lain-lain. Rakyat dari sebuah nagari merupakan penduduk yang berada dalam ruang lingkup nagari tersebut dengan batas-batas tertentu. Mengenai batas teritoral nagari ini dikatakan juga dalam adat “sawah dibari bapamatang, ladang babintalak, padang dibari balinggundi, rimbo baanjiluang” (sawah diberi berpematang, ladang berbintalak, pedang diberi linggundi, rimba beranjilu). Bintalak merupakan batas antara ladang seseorang dengan orang lain dan batas ini dengan tumbuh-tumbuhan hidup sebagai pagaran. Linggundi sejenis pohon lontas yang mudah hidup di padang tempat pengembalaan. Anjiluang sejenis kayu hutan yang mudah kelihatan dari jauh pada musim berbunga.
Batas-batas nagari berdasrkan kepada alam yang kemungkinan tidak banyak mengalami perubahan, menghindarkan persengketaan antara satu nagari dengan nagari lainnya. Batas alam seperti ini berupa bukit, sungai, gunung dan lain-lain. Namun demikian kemungkinan adakalanya terjadi perselisihan antara satu nagari dengan nagari lainnya bila batas-batas nagari hanya ditandai dengan pohon-pohon seperti anjiluang yang bisa mati.
Luas wilayah nagari sama dengan tanah ulayat dari suku-suku yang mendirikan nagari ditambah dengan daerah-daerah kantong, yaitu tanh-tanah yang terletak antara masing-masing ulayat suku.
Batas-batas antara satu nagari dengan nagari lainnya, didudukkan secara musyawarah oleh ninik mamak masing-masing pada masa dahulu dengan demikian kemungkinan terjadinya silang sengketa yang akan timbul kecil sekali.
Sistem Pemerintahan Nagari
Untuk kelancaran pemerintahan nagari mulai dari taratak sampai ke nagari sudah diatur secara bertingkat sedemikian rupa. Dimana taratak dipimpin oleh kepala taratak. Dusun dipimpin oleh kepala dusun. Rumah diberi bertungganai, kaum di kepalai oleh kepala kaum, suku dipimpin oleh penghulu-penghulu suku.
Penghulu-penghulu suku mewakili sukunya masing-masing dalam kerapatan adat nagari, dan mereka inilah yang menggerakkan roda pemerintahan nagari. Segala permasalahan harus “berjenjang naik bertangga turun”. Sebelum sampai kepada pemerintahan nagari harus diselesaikan dari bawah dan bila tidak ada juga penyelesaian baru dibawa ke tingkat kerapatan adat nagari. Demikian pula hasil kerapatan nagari agar sampai kepada anak kemenakan juga melalui tingkatan atau “beratangga turun”. Penghulu-penghulu suku menyampaikan kepada kepala kaum, dan seterusnya kepada tungganai. Barulah dari tungganai diteruskan lagi kepada anak kemenakan.
Sistem pemerintahan yang dipakai oleh masing-masing nagari tergantung pada kelahiran nagari tersebut dan suku yang ada di dalam nagari itu. Dua sistem adat yang dipakai adat pemerintahan nagari koto Piliang atau Bodi Chaniago yang sama-sama berazaskan demokrasi.

Sumber : minang.info

Ler Mais

Adat Minangkabau


ADAT MINANGKABAU

Pengertian Adat
Dalam membicarakan pengertian adat ada beberapa hal yang perlu dikemukakan, diantaranya adalah asal kata adat, pengertian adat secara umum dan pengertian adat dalam Minangkabau.
1. Asal Kata Adat
Dalam kehidupan sehari-hari orang Minangkabau banyak mempergunakan kata adat terutama yang berkaitan dengan pandangan hidup maupun norma-norma yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan masyarakatnya. Kesemuan yaitu diungkapkan dalam bentuk pepatah, petitih, mamangan, ungkapan-ungkapan dan lain-lain. Sebagai contohnya dapat dikemukakan "...adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah ; adat dipakai baru, kain dipakai usang, adat sepanjang jalan, cupak sepanjang batuang, adat salingka nagari; harato salingka kaum...", dan lain-lain.
Walaupun banyak penggunaan kata-kata adat oleh orang Minangkabau, namun barangkali tidak banyak orang mempertanyakan asal usul dari kata adat tersebut. Tidak banyak literatur yang memperkatakan kata adat ini. Drs. Sidi Gazalba dalam bukunya pengantar kebudayaan sebagai ilmu mengatakan : “ adat adalah kebiasaan yang normatif ". Kalau adat dikatakan sebagai kebiasaan maka kata adat dalam pengertian ini berasal dari bahasa arab yaitu “adat”.
Sebagai bandingan, seorang pemuka adat Minangkabau, yaitu Muhammad Rasyid Manggis Dt. Rajo Penghulu dalam bukunya sejarah Ringkas Minangkabau Dan Adatnya mengatakan : adat lebih tua dari pada adat. Adat berasal dari bahasa sansekerta dibentuk dari “a”dan “dato”. “a” artinya tidak, “dato” artinya sesuatu yang bersifat kebendaan. “a” artinya tidak, “dato” artinya sesuatu yang bersifat kebendaan. “adat” pada hakekatnya adalah segala sesuatu yang tidak bersifat kebendaan.
Dalam pembahasannya dapat disimpulkan bahwa adat yang tidak memikirkan kebendaan lagi merupakan sebagai kelanjutan dari kesempurnaan hidup, dengan kekayaan melimpah-limpah, sampailah manusia kepada adat yang tidak lagi memikirkan hal-hal yang tidak bersifat kebendaan. Selagi benda masih dapat menguasai seseorang, ataupun seseorang masih dapat diperhamba benda disebut orang itu belum beradab. Kalau diperhatikan kedua pendapat diatas, maka pendapat yang teakhir lebih bersifat filosofis dan ini mungkin dikaitkan dengan pengaruh agama hindu yang datang kemudian ke Indonesia.
Walaupun kata adat dengan 'adat berlainan penafsiran dari arti yang terkandung pada kata tersebut namun keduanya ada kesamaan yaitu tujuannya sama-sama mengatur hidup dan kehidupan masyarakat agar menjadi baik.
Bagi orang Minangkabau sebelum masuknya pengaruh hindu dan islam, orang telah lama mengenal kata “buek”. Kata “buek” ini seperti ditemui dalam mamangan adat yang mengatakan kampuang bapaga buek, nagari bapaga undang (kampung berpagar buat, nagari berpagar undang). Buek inilah yang merupakan tuntunan bagi hidup dan kehidupan orang Minangkabau sebelum masuk pengaruh luar.
Oleh sebab itu masuknya perkataan adat dalam perbendaharaan bahasa Minangkabau tidak jadi persoalan karena hakekat dan maknanya sudah ada terlebih dahulu dalam diri masyarakat Minangkabau. Kata-kata “buek” menjadi tenggelam digantikan oleh kata adat seperti yang ditemui dalam ungkapan “minang babenteng adat, balando babenteng basi” (minang berbenteng adat, belanda berbenteng besi).
2. Pengertian Adat Secara Umum
Seperti dikatakan kata adat dalam masyarakat Minangkabau bukanlah kata-kata asing lagi, karena sudah merupakan ucapan sehari-hari. Namun demikian apakah dapat “adat” ini diidentikan dengan kebudayaan, untuk ini perlu dikaji terlebih dahulu bagaimana pandangan ahli antropologi mengenai hubungan adat kebudayaan ini.
Dalam ilmu kebudayaan dan kemasyarakatan konsep kebudayaan sangat banyak sekali. Inventarisasi yang dilakukan oleh C. Kluckhohn dan A. L Kroeber ahli atropologi pada tahun 1952 telah ditemukan lebih kurang 179 defenisi. Tetapi yang sifatnya dan banyak dipakai para ahli adalah pendapat C. Kluckhohn yang memberikan batasan kebudayaan sebagai berikut:
“kebudayaan adalah keseluruhan dari gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia yang berupa satu sistem dalam rangka kehidupan masyarakat yang dibiasakan oleh manusia dengan belajar”.
Kata kebudayaan dalam istilah inggris adalah “culture” yang berasal dari bahasa latin “colere”yang berarti mengolah, mengerjakan, terutama mengolah tanah atau pertanian. Dari pengertian ini kemudian berkembang menjadi “culture”. Istilah “culture” sebagai istilah teknis dalam penulisan oleh ahli antropologi inggris yang bernama Edwar B. Tylor mengatakan bahwa “culture” berarti “complex whole of ideas and thinks produced by men in their historical experlence”. Sesudah itu pengertian kultur berkembang terus dikalangan antroplogi dunia. Sebagai istilah umum “culture” mempunyai arti, kesopanan, kebudayaan, pemeliharaan atau perkembangan dan pembiakan.
Bahasa Indonesia sendiri mempunyai istilah budaya yang hampir sama dengan culture, dengan arti kata, kata kebudayaan yang dipergunakan dalam bahasa Indonesia bukanlah merupakan terjemahan dari kata “culture”. Kebudayaan berasal dari kata sansekerta “buddhayah” yang merupakan bentuk jamak dari kata budhi. Budhi berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian kata buddhayah (budaya) yang mendapatkan awalan ke- dan akhiran –an, mempunyai arti “hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal”. Berdasarkan dari asal usul kata ini maka kebudayaan berarti hal-hal yang merupakan hasil dari akal manusia dan budinya. Hasil dari akal dan budi manusia itu berupa tiga wujud, yaitu wujud ideal, wujud kelakuan, dan wujud kebendaan.
Wujud ideal membentuk kompleks gagasan konsep dan fikiran manusia. Wujud kelakuan membentuak komplek aktifitas yang berpola. Sedangkan wujud kebendaan menghasilkan benda-benda kebudayaan. Wujud yang pertama disebut sistim kebudayaan. Wujud kedua dinamakan sistim sosial sedangkan ketiga disebut kebudayaan fisik.
Bertitik tolak dari konsep kebudayaan Koen Cakraningrat membicarakan kedudukan adat dalam konsepsi kebudayaan. Menurut tafsirannya adat merupakan perwujudan ideal dari kebudayaan. Ia menyebut adat selengkapnya sebagai adat tata kelakuan. Adat dibaginya atas empat tingkat, yaitu tingkat nilai budaya, tingkat norma-norma, tingkat hukum dan tingkat aturan khusus. Adat yang berada pada tingkat nilai budaya bersifat sangat abstrak, ia merupakan ider-ide yang mengkonsesikan hal-hal yang paling berniali dalam kehidupan suatu masyarakat. Seperti nilai gotong royong dalam masyarakat Indonesia. Adat pada tingkat norma-norma merupakan nilai-nilai budaya yang telah terkait kepada peran-peran tertentu (roles), peran sebagai pemimpin, peran sebagai mamak, peran sebagai guru membawakan sejumlah norma yang menjadi pedoman bagi kelakuannya dalam hal memainkan peranannya dalam berbagai kedudukan tersebut.
Selanjutnya adat pada tingkat aturan-aturan yang mengatur kegiatan khusus yang jelas terbatas ruang lingkupnya pada sopan santun. Akhirnya adat pada tingkat hukum terdiri dari hukum tertulis dan hukum adat yang tidak tertulis.
Dari uraian-uraian di atas ada beberapa hal yang dapat disimpulkan, bahwa kebudayaan merupakaan hasil dari budi daya atau akal manusia, baik yang berwujud moril maupun materil. Disamping itu adat sendiri dimaksudkan dalam konsep kebudayaan dengan kata lain adat berada dalam kebudayaan atau bahagian dari kebudayaan.
3. Pengertian Adat Dalam Adat Minangkabau
Bagi orang Minangkabau, adat itu justru merupakan “kebudayaan” secara keseluruhannya. Karena didalam fakta adat Minangkabau terdapat ketiga bagian kebudayaan yang telah dikemukakan oleh Koencaraningrat, yaitu adat dalam pengertian dalam bentuk kato, cupak, adat nan ampek dan lain-lain. Adat dalam pengertian tata kelakuan berupa cara pelaksanaannya sedangkan adat dalam pengertian fisik merupakan hasil pelaksanaannya. Malahan bila dibandingkan dengan pengertian culture yang berasal dari kata “colere”maka dapat dikatakan bahwa orang Minangkabau bukan bertitik tolak dari mengolah tanah melainkan lebih luas lagi yang diolah yaitu alam, seperti yang dikatakan : "alam takambang jadi guru” (alat terkembang jadikan guru).
Bertitik tolak dari nilai-nilai dasar orang Minangkabau yang dinyatakan dalam ungkapan “alam takambang jadikan guru” maka orang Minangkabau membuat katagori adat sebagai berikut:
a. Adat Nan Sabana Adat
b. Adat Istiadat
c. Adat Yang Diadatkan
d. Adat Yang Teradat
Sedangkan M. Rasyid Manggis Dt Rajo Penghulu memberi urutan yang berbeda seperti berikut:
1. Adat Nan Babuhua Mati, yakni
a. Adat Nan Sabana Adat
b. Adat Nan Diadatkan
2. Adat Nan Babuhua Sentak, yakni
c. Adat Nan Teradat
d. Adat Istiadat
Bila dikumpulkan literatur mengenai katagori adat ini sangat banyak sekali. Dari pendapat yang banyak sekali itu ada kesamaan dan ada perbedaannya. Kesamaannya hanya terlihat dalam “adat nan ampek” sedangkan penafsirannya terdapat perbedaan dan malahan urutannya juga. Menurut isinya serta urutannya paling umum adalah pendapat yang dikemukakan oleh M. Rasyid Manggis Dt Rajo Penghulu di atas.
Pengertian dari adat nan ampek di atas dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Adat Nan Sabana Adat
Adat nan sabana adat (adat yang sebenar adat) merupakan yang palingkuat (tinggi) dan bersifat umum sekali, yaitu nilai dasar yang berbentuk hukum alam. Kebenarannya bersifat mutlak seperti dikatakan : adat api mambaka, adat aia membasahi, tajam adatnyo melukoi, adat sakik diubeti. Ketentuan-ketentuan ini berlaku sepanjang masa tanpa terikat oleh waktu dan tempat.
b. Adat Nan Diadatkan
Adat nan diadatkan merupakan warisan budaya dari perumus adat Minangkabau yaitu Datuak. Katumanggungan dan Datauk Perpatih Nan Sabatang.
Adat nan diadatkan mengenai:
Peraturan hidup bermasyarakat orang Minangkabau secara umum dan sama berlaku dalam Luhak Nan Tigo sebagai contoh
1. Garis keturunan menurut ibu
2. Sistim perkawinan eksogami
3. Pewarisan sako dan pusako
4. Limbago nan sapuluah
5. Garis keturunan pewarisan sako dan pusako dan lain-lain.
c. Adat Nan Teradat
Adat Nan Teradat merupakan hasil kesepakatan penghulu-penghulu dalam satu-satu nagari. Di sini berlaku lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.
d. Adat Istiadat
Adat istiadat adalah kebiasaan umum yang berasal dari tiru-meniru dan tidak diberi kekuatan pengikat oleh penghulu-penghulu seperti permainan anak-anak muda seni dan lain-lain serta tidak bertentangan dengan adat nan teradat.

Pendapat-Pendapat Mengenai Nama Minangkabau
Pendapat-pendapat mengenai nama Minangkabau saat ini sangat banyak sekali. Pendapat-pendapat yang dikemukakan berasal dari orang-orang yang memiliki ilmu di bidang sejarah. Ada yang bersumber dari orang-orang yang sekedar pendapat tanpa argumentasi yang kuat, artinya tanpa didukung oleh nilai-nilai sejarah dan akibanya juga kurang didukung oleh masyarakat. Pendapat yang bersumber dari tambo pada umumnya didukung oleh masyarakat Minangkabau. Dari keterangan-keterangan yang dikumpulkan ada dikemukakan sebagai berikut:
1. Prof. DR. RM. NG. Poerbacaraka:
Pendapatnya dikemukakan dalam sebuah karangan yang berjudul “Riwayat Indonesia” dalam tulisannya mengenai nama Minangkabau dikaitkan dengan prasasti yang terdapat di palembang yaitu Prasasti Kedukan Bukit. Prasasti ini memuat sepuluh baris kalimat yang berangka tahun 605 (saka) atau 683 masehi. Batu bertulis ini telah diterjemahkannya ke dalam bahasa indonesia sebagai berikut:

Selamat tahun saka telah berjalan 605 tanggal ii
Paro terang bulan waisyakka yang dipertuan yang naik di
Perahu mengambil perjalanan suci. Pada tanggal 7 paro terang,
Bulan jyestha Yang Dipertuan Hyang berangkat dari Minanga
Tamwan membawa bala (tentara) dua puluh ribu dengan peti
Dua ratus sepuluh dua banyaknya tulisan
Dua ratus berjalan diperahu dengan jalan (darat) seribu
Tiga ratus sepuluh dua banyaknya. Datang di Matayap
Bersuka cita pada tanggal lima bulan…
Dengan mudah dan senang membuat kota…
Syri-wijaya (dari sebab dapat) menang (karena) perjalanan suci, (yang menyebabkan kemakmuran)
Kesimpulan dari isi prasasti ini adalah Yang Dipertuan Hyang berangkat kari Minanga Tamwan naik perahu membawa bala tentara. Sebagian melalui jalan darat. Menurut Poerbacaraka kata tamwan pada prasasti itu sama dengan bahasa jawa kuno yaitu “temwan”, bahasa jawa sekarang “temon”, bahasa indonesianya “pertemuan”. Pertemuan disini yaitu pertemuan dua buah sungai yang sama besarnya. Sungai yang dimaksud itu ialah sungai Kampar Kiri dan Kampar Kanan. Besar kemungkinan kemudian dinamakan Minanga Kamwar yaitu Minanga Kembar.
Bagi orang Sumatera Barat disebut Minanga Kanwa, yang lama kelamaan diucapkan Minangkabau. Juga dikemukakannya, bahwa dengan pertemuan kampar kiri dan kampar kanan disinilah terletak pusat agama Budha Mahayana, yaitu Muara Takus.
2. M. Sa’id
Pendapat M. Sa’id bertitik tolak dari prasasti padang Roco tahun 1286, didekat sungai langsat, di hulu sungai Batang Hari. Pada prasasti ini ditemukan kata-kata swarna bumi dan bhumi melayu. Tidak satupun dari prasasti-prasasti yang ditemui yang berisikan kata-kata Minangkabau. Sedangkan tempat prasasti ditemukan termasuk daerah Minangkabau sekarang. Oleh sebab itu M. Sa’id berkeyakinan bahwa ketika ekspedisi pamalayu, nama Minangkabau belum ada.
Menurut penelitian ahli sejarah seperti M. Yamin, dan C.C Berg, ekspedisi Pamalayu bukanlah agresi militer, melainkan suatu muhibah diplomatik dalam usaha mengadakan aliansi untuk menghadapi Khubilai Khan. Itulah sebabnya prasasti Padang Roco isinya juga menunjukkan kegembiraan.
Tidak mustahil antara pihak tamu dengan tuan rumah diadakan pesta untuk menyenangkan hati kedua belah pihak. Pada peristiwa inilah salah satu acaranya diadakan arena pertarungan kerbau antara tuan rumah dengan pihak tamu. Rupanya kemenangan berada pada pihak tan rumah. Suatu pertanyaan timbul apakah ceritra-ceritra mengenai perlagaan kerbau yang kebanyakkan dianggap dongeng tidak mempunyai hubungan dengan kedatangan misi pamalayu ini. Menurut ukuran sekarang terlalu kecil peristiwa pertarungan kerbau ini untuk menguji kalah menang yang mempertaruhkan peristiwa dan status negara. Tetapi dari peristiwa ini nama Minangkabau lahir bukanlah mustahil.
3. Prof. Dr. Muhammad Hussein Nainar
Menurut keterangan, guru besar pada Universitas Madras ini, sebutan “Minangkabau” berasal dari “Menon Khabu” yang artinya “Tanah Pangkal” atau “Tanah Permai”.
4. Prof. Vander Tuuk
Menurut pendapatnya, bahwa Minangkabau asalnya dari kata “Pinang Khabu” yang artinya Tanah Asal.
5. Sulthan Muhammad Zain
Menurut pendapatnya, bahwa “Minangkabau” berasal dari “Binanga Kanvar” yang artinya Muara Kampar. Keterangan ini bertambah kuat oleh karena Chaw Yu Kua yang dalam abad ke 13 pernah datang berkunjung ke Muara Kampar menerangkan, bahwa disana didapatinya satu-satunya bandar yang paling permai di pusat sumatera.
6. Pendapat Thambo
Dari beberapa tambo yang ditemui seperti Tambo Pariangan dan Tambo Sawah Tangah yang tidak diketahui penulisannya, maupun tambo yang dikenal penulisannya, pada dasarnya mempunyai kesamaan sejarah lahirnya nama Minangkabau. Salah satu di antaranya transkipsi Tambo Pariangan nama Minangkabau diceritakannya sebagai berikut :
“tidak berapa lama di antaranya datang lagi raja itu membawa seekor kerbau besar yang tanduknya sepanjang delapan depa. Maka raja itu bertaruh atau bertanding, seandainya kalah kerbau kami, maka ambilah isi perahu ini. Maka dijawablah oleh raja, kemudian minta janji selama tujuh hari. Keesokan harinya dicarilah seekor anak kerbau yang sedang erat menyusu, lalu dipisahkan dari induknya. Anak kerbau tadi dibuatkan tanduk dari besi, yang bercabang dua yang panjangnya enam depa. Setelah sampai janji itu maka dipasanglah tanduk palsu itu dikepala anak kerbau yang disangka induknya tadi. Melihat kerbau besar tersebut, maka berlarilah anak kerbau itu menuju kepada kerbau besar yang dipisahkan dari induknya sendiri untuk menyusu karena demikian haus dan laparnya. Lalu anak kerbau itu berbuat seperti menyusu sehingga tanduk palsunya masuk perut kerbau besar itu dan akhirnya iduk kerbau itu mati. Maka mufakatlah seluruh rakyat akan menamakan negeri itu Minangkabau".
Atas kemenangan pertarungan kerbau yang diungakpkan oleh tambo tersebut juga diungkapkan dalam bentuk talibunnya sebagai berikut:
Karano tanduak basi paruik tajalo
Mati di Padang Koto Ranah
Tuo jo Mudo sungguahpun heran
Datangnya indak karano diimbau
Dek karano Cadiak Niniak kito
Lantaran manyambuang di galanggang tanah
Dipadapek tuah kamujuran
Timbualah namo Minangkabau
(karena tanduk besi tanduk terjela, mati dipadang koto ranah, tua dengan muda sangat heran, datangnya karena tidak dihimbau, karena cerdik nenek kita lantaran menyambung digelanggang tanah, diperoleh tuah kemujuran timbulah nama Minangkabau).
Pendapat dari tambo ini merupakan pendapat yang umum Minangkabau. Walaupun banyak pendapat yang lain seperti yang telah dikemukakan di atas tetapi tidak didukung oleh orang Minangkabau sendiri. Lain halnya pendapat tambo yang beberapa hal sebagai berikut:
a. Sampai sekarang di arena tempat pertarungan kerbau tersebut masih diperoleh nama-nama tempat yang tidak berobah dari dahulu sampai sekarang. Nagari tempat pertarungan ini sekarang masih bernama nagari Minangkabau (lebih kurang 4 km dari kota batusangkar). Di nagari Minangkabau tempat gelanggang pertarungan kerbau ini sekarang masih tetap bernama Parak Bagak (kebun berani). Di tempat inilah kerbau yang kecil tersebut memperlihatkan keberaniannya. Disamping itu juga ada nama Sawah Siambek dimana kerbau yang kalah itu lari dan kemudian dihambat bersama-sama.
b. Pendapat yang dikemukakan tambo didukung oleh masyarakat Minangkabau dari dahulu sampai sekarang dan tidak sama halnya dengan pendapat-pendapat lainnya.
c. Asal nama Minangkabau karena menang kerbau juga ditemui dalam “Hikayat Raja - Raja Pasai” seperti yang dikemukakan oleh Drs. Zuber Usman dalam bukunya “Kesusasteraan Lama Indonesia”. Dalam buku hikayat raja-raja pasai itu dikemukakan raja majapahit telah menyuruh Patih Gajah Mada pergi menaklukkan Pulau Perca dengan membawa seekor kerbau keramat yang akan diadu dengan kerbau Patih Sewatang. Dalam pertarungan ini Patih Sewatang mencari anak kerbau yang sedang kuat menyusu. Setelah sekian lama tidak menyusu kepada induknya baru dibawa ke arena pertarungan. Karena haus dan kepalanya diberi minang (taji yang tajam), ketika pertarungan terjadi anak kerbau tersebut menyeruduk kerbau Majapahit tadi. Dalam pertarungan ini kerbau Patih Sewatang yang menang.
Berdasarkan kepada tambo mungkin ada yang bertanya mengapa tidak disebut manang kabau tetapi Minangkabau. Jawabnya karena kemenangan itu lantaran anak kerbau tadi memakai “minang” yaitu taji yang tajam dan runcing sehingga merobek perut lawannya.
Asal nama Minangkabau lantaran kemenangan seperti yang dikemukakan tambo juga ada pesan-pesan tersirat yang disampaikan kepada kita dan enerasi selanjutnya bahwa sifat diplomatis haruslah dipergunakan dalam menghadapi sesuatu masalah. Pertentangan fisik harus dihindarkan seandainya masih ada alternatif lainnya. Disamping itu juga secara tidak langsung memberi inspirasi kepada kita sekarang untuk meniru meneladani cara berbuat dan berfikir seperti yang telah dilakukan oleh orang-orang Minangkabau pada masa dahulu. Dimana dibiasakan menggunakan otak sebelum menggunakan otot, diplomasi adalah langkah yang terbaik dalam menyelesaikan suatu pertikaian, dengan diplomasi musyawarah, berunding dan lain-lain, resiko yang lebih berat dapat dapat dihindari.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa nama Minangkabau yang bersumber dari kemenangan kerbau tidak diragukan lagi kebenarannya. Disamping itu juga dapat disimpulkan bahwa pemakaian nama Minangkabau dipergunakan untuk nama sebuah nagari dekat kota Batusangkar, untuk suku bangsa Minangkabau dan wilayah kebudayaan Minangkabau, nama Minangkabau yang berasal dari cerita adu kerbau inilah yang kita yakini kebenarannya. Sedangkan nama-nama yang dikemukakan oleh para ahli sejarah lainnya, kita terima juga sebagai pelengkap perbendaharaan kita dalam menggali sejarah Minangkabau selanjutnya.

Sumber : minang.info

Ler Mais
 
Provinsi Minangkabau | by TNB ©2010