Dalam visi tradisional Jawa, Jawalah yang merupakan pusat dunia. Selain Jawa adalah mancanegara dan tanah seberang, yang bukan saja dipenduduki oleh manusia kelas dua tetapi juga berperadaban rendah. Budaya politik Jawa berkisar pada konsep kekuasaan yang terpusat di ibukota (kultur politik otoritarian dan sentralistik).
Sangatlah berbeda dengan budaya politik Minangkabau bukan saja mendistribusikan kekuasaan tersebut pada mufakat kerapatan adat nagari dan suku tetapi sama sekali tidak berkeberatan dengan kemajemukan dan nyaman-nyaman saja dengan perbedaan pendapat.
Sungguh akan sangat menarik untuk meneliti bagaimana persepsi dari penduduk mancanegara dan tanah seberang ini sendiri terhadap para penguasa Jawa ini, baik dari sejarah maupun dari mitologi mereka.
• Proses Pembangunan Bangsa
• Kesadaran akan Bangsa
• Soekarno dan Hatta
• Piagam Jakarta
• Ideologi Nasakom
• Visi Kenegaraan Jawa
• Visi Kenegaraan Minangkabau
• Perang Salib Pancasila
• Matinya Minangkabau
• Indonesia Negara yang Gagal
• Ultra Demokrasi
• Integrasi Elite Politik
• Teori Pembangunan Bangsa
• Konvensi Montevideo 1933
Proses Pembangunan Bangsa
Rasanya adalah antropolog Clifford Geertz (1963) yang pertama kali menyimpulkan bahwa esensi masalah yang dihadapi oleh para nation-and state-builders pasca Perang Dunia Kedua adalah bagaimana merangkai masyarakat atau komunitas lama menjadi suatu negara baru.
Nation and state-building (pembangunan sebuah bangsa) selain pada dasarnya merupakan suatu rekayasa struktur politik, juga akan memerlukan adaptasi kultural terencana, baik di kalangan elite pendiri negara maupun di kalangan massa yang hidup di akar rumput.
Memang ada perbedaan menyolok antara negara-negara nasional lama di Eropa Barat dan Amerika Serikat yang perkembangan struktur politiknya di tingkat suprastruktur sudah merefleksikan budaya politik masyarakatnya di tingkat insfrastruktur dengan negara-negara baru di Asia dan Afrika, yang struktur politiknya seakan-akan merupakan suatu cangkokan dari luar, yang terpisah dan terasing dari budaya politik masyarakatnya.
Adalah menarik untuk diperhatikan, bahwa di Indonesia baik tokoh-tokoh kaum pergerakan dalam paruh pertama abad ke 20, maupun pada pendiri Negara serta pemimpin-pemimpin pemerintahan dalam paruh kedua abad itu, meletakkan kepercayaan yang amat besar pada pendekatan filsafat dan ideologi politik yang amat abstrak serta pada peranan dari tokoh-tokoh kharismatis, dan bukannya pada menyusun dan mengembangkan suatu kerangka struktur politik yang mampu mengakomodasi dan mendayagunakan potensi kemajemukan rakyat itu untuk kepentingan bersama (Bahar, 1996, 1998, 2002, 2003).
Pengalaman menunjukkan bahwa pendekatan filsafat dan ideologi politik, betapa pun idealnya, dan kharisma tokoh-tokoh pemimpin besar, betapapun memukaunya, ternyata tidak banyak membantu mewujudkan terciptanya suatu negara yang efektif dalam mewujudkan dua tugas tradisionalnya, yaitu menjamin keamanan dan memenuhi kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya.
Setelah merdeka lebih dari setengah abad, bangsa Indonesia bukan saja mendapatkan dirinya sebagai bangsa yang terpecah belah dan sebagian besar masih hidup dalam kemiskinan, tetapi juga dengan sumber daya alam yang semakin menipis dalam suatu lingkungan yang sudah amat rusak, baik di darat, di laut, maupun di udara, tetapi juga dengan pemerintahan yang amat terfragmentaris, karena itu tidak mampu mengambil prakarsa dalam bidang apa pun juga.
Kesadaran akan Bangsa
Adalah merupakan suatu kenyataan, bahwa kesadaran kebangsaan di Indonesia bukanlah berasal dari massa rakyat di tingkat akar rumput, tetapi merupakan hasil refleksi dan komitmen dari segelintir kaum terpelajar muda yang beruntung mengenal ideologi politik modern barat, baik secara langsung melalui pendidikan barat, maupun secara tidak langsung melalui pendidikan Islam modern di Timur Tengah.
Pengenalan ini dipermudah oleh karena penguasaan bahasa-bahasa barat yang lumayan baik sejak tingkat sekolah menengah pertama, baik bahasa Belanda, Inggris, Perancis maupun Jerman. Hampir tanpa kecuali, gelombang pertama kaum terpelajar ini sangat mahir dengan literatur filsafat dan ideologi politik barat, seperti kolonialisme, imperialisme, nasionalisme, fasisme, naziisme, sosialisme, marxisme, dan komunisme. Mereka bukan saja mampu membaca, tetapi juga mampu menulis dengan baik dalam bahasa-bahasa barat tersebut.
Bersisian dengan kaum terpelajar berpendidikan barat tersebut adalah kaum modernis Islam (Sumatera Barat disebut sebagai Kaum Muda) yang menganut ajaran Syech Muhammad Abduh dan Syeh Muhammad Rasyid Ridha. Sambil berjuang untuk menyegarkan dan memajukan pemahaman umat mengenai ajaran Islam yang dirasakan sudah jumud. Kaum modernis Islam ini juga menerima dan menyebarkan paham kebangsaan modern yang ditimba mereka dari literatur Barat dan Timur Tengah.
Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa kaum modernis Islam ini merupakan sayap lain dari gerakan kebangsaan di Indonesia. Mereka mendirikan, menggerakkan dan memimpin berbagai organisasi massa dan partai politik, yang secara bersama-sama mengembangkan kesadaran kebangsaan di tengah massa rakyat, seperti Muhammadiyah, Syarikat Islam, dan Nahdlatul Ulama.
Soekarno dan Hatta
Secara alamiah, di antara demikian banyak pelopor pergerakan kebangsaan itu akan tampil tokoh-tokoh terkemuka. Dua di antaranya amat menonjol, yaitu Ir. Soekarno yang mengembangkan seluruh karir politiknya di Indonesia sendiri dan Mohammad Hatta yang dalam usia mudanya memimpin pergerakan mahasiswa Indonesia di negeri Belanda. Walaupun keduanya menganut paham nasionalisme, namun perbedaan yang lumayan besar dalam karakter pribadi dan latar belakang kultural, mempengaruhi visi kebangsaan dan kenegaraannya.
Soekarno, seorang “Arjuna” dan orator besar yang kemudian menjadi Proklamator dan Presiden pertama negara Republik Indonesia, berasal dari kalangan priyayi dan menganut budaya politik Jawa, yang secara kultural dipengaruhi oleh pemikiran sinkretis (Soekarno, 1959, 1964).
Pemikiran sinkretis ini dalam segala keadaan berusaha untuk menyatukan dan mengharmonikan berbagai wawasan, betapa pun bertentangan esensi dan manifestasinya. Ada dua warisan ideologi sinkretis Soekarno, yang walau pun mungkin niatnya baik, namun kemudian bermetamorfosa menjadi beban sejarah bagi Indonesia, yaitu Piagam Jakarta dan Wawasan Nasakom.
Piagam Jakarta
Mengenai wawasan Piagam Jakarta, sungguh mengherankan, bahwa walaupun Ki Bagus Hadikusumo yang pertama kalinya menyarankan gagasan Islam sebagai dasar negara pada tanggal 30 Mei 1945 yang kemudian diwadahi Soekarno dalam ‘tujuh kata’ Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang terkenal itu telah mencabutnya kembali tanggal 14 dan 15 Juli, namun Soekarno amat gigih untuk mempertahankannya.
Adalah Hatta, bersama dengan Tengku Muhammad Hassan, Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim dan Kasman Singodimedjo, yang kemudian pada tanggal 18 Agustus dengan tidak ragu mencoret kata-kata itu (Bahar, Hudawatie, 1998). Namun Soekarno kembali mencantumkannya dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959, setelah tiga tahun Hatta tidak lagi menjadi Wakil Presiden. Seperti dikoreksi oleh Ki Bagus Hadikusumo, kelemahan mendasar dari formula Piagam Jakarta ini adalah tidak dapatnya diterima kewenangan negara untuk mengatur agama.
Ideologi Nasakom
Selain itu, sinkresi ideologi nasionalisme, islamisme dan marxisme yang mulai dikembangkannya dalam tahun 1926 dan direformulasinya menjadi “nasakom” dalam tahun 1960-an, dianutnya sampai saat-saat terakhir hidupnya, juga setelah terjadinya tragedi nasional berdarah dalam tahun 1965-1967.
Walau pun sejak tahun 1847 Manifesto Komunis mencanangkan bahwa para penganut komunisme percaya dunia terbagi dalam dua kelas yang tidak dapat didamaikan, yaitu kelas borjuis dan kelas proletar, dan bahwa kemenangan kelas proletar hanya bisa dicapai melalui revolusi dan kekerasan, Soekarno yakin mampu menyatukannya dengan pendukung Islam dan Nasionalisme. Padahal dari segi doktrin komunisme kedua golongan ini akan dipandang sebagai representasi kelas borjuis yang harus diperangi sampai musnah.
Suatu anomali yang mungkin juga berasal dari visi kultural Jawa adalah bahwa walau pun dalam kehidupan keagamaan dan pemikiran visi sinkretik Jawa ini mampu mentoleransi kemajemukan dan perbedaan, namun dalam visi kenegaraan budaya politik Jawa, khususnya dalam era Mataram II, sama sekali tidak mentolerir kemajemukan dan perbedaan itu.
Visi Kenegaraan Jawa
Dalam kehidupan bernegara, visi yang diulas dengan amat baik oleh Ki Hajar Dewantoro (nama samaran yang berarti: Orang yang mengajar Dewa) dan Soemarsaid Moertono, menjelaskan bahwa kekuasaan negara tidaklah berasal dari rakyat (wong cilik), tetapi dari suatu kekuasaan supranatural, yang menganugerahkannya kepada seorang tokoh terpilih.
Dengan perkataan lain, konsep kenegaraan Jawa (baca: Mataram) ini bukanlah suatu negara demokrasi yang berkedaulatan rakyat, tetapi suatu teokrasi atau setidak-tidaknya oligarki dan feodalisme, yang menginginkan suatu negara dengan pemerintahan terpusat dan kekuasaan mutlak, yang tidak akan mentolerir adanya kekuasaan tandingan (Moetono, 1985). Dengan sendirinya tidak akan ada pembagian kekuasaan antara cabang legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang mempunyai kekuasaan yang seimbang. Tidak boleh ada srengene (matahari) kembar, demikian rumus dasarnya.
Paham itulah yang melatarbelakangi konsep demokrasi terpimpinnya Soekarno dan Ki Hajar Dewantara. Visi kenegaraan Jawa yang monistis dan intoleran inilah yang dituangkan oleh Prof. Mr. Dr. Soepomo ke dalam struktur kenegaraan yang terdapat Undang-Undang Dasar 1945. Seorang pengarang kontemporer merumuskan gaya pemerintahan Jawa ini sebagai perintah halus, tetapi pemerintahan otoriter.
Pemikiran politik Indonesia memang sangat didominasi oleh wawasan ideologis Soekarno. Dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menawarkan suatu esensi wawasan filsafat politik yang diberinya tiga alternatif nama: Pancasila, Trisila, atau Ekasila. Nama pertama menjadi amat populer. Walau pun nama tersebut tidak tercantum secara eksplisit dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, namun substansinya terlihat dengan jelas.
Soekarno berhasil menampilkan lima sila yang memang merupakan esensi dari seluruh wawasan kebangsaan dan kenegaraan yang hidup di Indonesia. Baik dalam tahun 1926, maupun dalam tahun 1945 dan dalam tahun 1960-an Soekarno konsisten dengan sinkretisme ideologisnya ini, yang selain diyakininya secara pribadi, juga diindoktrinasikannya secara luas, dan dilaksanakannya dengan tegar, termasuk dengan mengorbankan karir politiknya sendiri dalam tahun 1966.
Visi Kenegaraan Minangkabau
Berbeda dengan Soekarno, Hatta adalah seorang asketis muslim yang lebih suka berpikir, menulis, dan mendidik, daripada menghadapi riuh rendahnya massa. Hatta yang berasal dari keluarga ulama dan pedagang Minangkabau, yang budaya politiknya bersifat amat egalitarian.
Bertolak belakang dengan budaya politik Jawa yang berkisar pada konsep kekuasaan yang terpusat di ibukota, budaya politik Minangkabau bukan saja mendistribusikan kekuasaan tersebut pada mufakat kerapatan adat nagari dan suku, sama sekali tidak berkeberatan dengan kemajemukan, dan nyaman-nyaman saja dengan perbedaan pendapat.
Sebagai seorang Minangkabau, walaupun menghargai Pancasila sebagai sumbangan pribadi Soekarno, namun kelihatannya Hatta tidak terlalu peduli dengan pemikiran politik serta gaya kepemimpinan Soekarno.
Mungkin oleh karena itulah Hatta sejak usia mudanya selalu menyampaikan kritik berkelanjutan terhadap Soekarno dan oleh karena memandang Soekarno tidak dapat lagi diyakinkan untuk benar-benar menghormati demokrasi, dalam tahun 1956 Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden, untuk memberikan apa yang disebutnya sebagai kesempatan yang adil kepada Soekarno untuk membuktikan kebenaran teori demokrasi terpimpinnya. Hatta amat yakin bahwa teori demokrasi terpimpin itu akan runtuh dengan kepergian Soekarno.
Namun Hatta dan tokoh-tokoh Minangkabau lainnya bukannya tanpa kontribusi. Dari sembilan orang perumus rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 ada tiga orang Minangkabau: Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, dan Haji Agus Salim. Sejak tahun 1920-an mereka menyumbangkan pemikiran politik yang lebih pragmatis.
Dalam tahun 1924, Ibrahim Datuk Tan Malaka, seorang tokoh pergerakan Minangkabau yang penuh misteri dan aktif dalam gerakan komunis internasional, dalam tahun 1924 sudah menulis dan menerbitkan gagasan kenegaraannya: Naar de Republiek Indonesia.
Dalam tahun 1925, sebagai tokoh pimpinan Perhimpunan Indonesia dinegeri Belanda, Hatta ikut merancang Manifesto Politik yang menekankan pentingnya persatuan di antara suku-suku bangsa di Indonesia, tentang perlunya kepercayaan pada diri sendiri, pendidikan politik rakyat, dan paham demokrasi ekonomi.
Unsur Minangkabau dari Panitia Sembilan yang merancang Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 inilah yang menambahkan konsep-konsep yang lebih down to earth dalam dokumen tersebut, antara lain ditegaskannya secara eksplisit tentang empat tugas pemerintah, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Perang Salib Pancasila
Adalah wajar, bahwa karena jumlah pendukung budaya politik Jawa ini demikian besar, sebagian besar lapisan elite Indonesia, baik sipil maupun militer, akan selalu terdiri dari tokoh-tokoh yang menganut budaya politik Jawa.
Rangkaian keputusan politik yang mereka ambil, yang langsung atau tak langsung akan mempengaruhi nasib seluruh bangsa Indonesia, akan dipengaruhi oleh visi Jawa yang sentralistik dan monistik, serta anti pluralisme dan heterogenitas. Tidak peduli apakah nama Presidennya adalah Soekarno, Soeharto, KH Abdurrahman Wahid, atau Megawati Soekarnoputri.
Adalah juga wajar, bahwa sumbangan pragmatisme Minangkabau, yang jika dianut secara luas akan berpotensi sebagai suatu matahari tandingan, betapapun bermanfaatnya, akan selalu kalah dalam persaingan demokrasi berjangka panjang. Sewaktu daerah-daerah lainnya memberontak dalam tahun 1950-an, sebagai presiden konstitutional dalam demokrasi parlementer Soekarno menyerahkan penanganannya kepada kabinet-kabinet parlementer yang ada.
Namun sewaktu orang Minangkabau, bersama orang Manado, memberontak dalam tahun 1958 menuntut mudurnya kabinet parlementer Djuanda, yang sesungguhnya tidaklah aneh dalam suasana demokrasi parlementer saat itu, secara pribadi Soekarno marah besar, dan melancarkan apa yang disebutnya sendiri sebagai “Perang Salib Pancasila” yang ditumpasnya habis-habisan.
Beliau tidak pernah menamakan pemberontakan lain dengan sebutan yang ideologis seperti itu. Juga tidak sewaktu PKI melancarkan pemberontakan Madiun bulan September 1948.
Matinya Minangkabau
Dengan semakin menguatnya pengaruh budaya politik Jawa dalam cakrawala kebangsaan dan kenegaraan Indonesia, semakin menciutlah peranan budaya politik Minangkabau, bukan hanya di tingkat nasional, juga pada tingkat lokal sendiri.
Bukannya tanpa alasan, bahwa dalam tahun 1980-an pada era keemasan Presiden Soeharto sebagai pengamat dan kritikus sosial, Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa Sumatera Barat (Minangkabau) yang pernah melahirkan tokoh-tokoh terkenal, tidak ada apa-apanya lagi. Sungguh suatu ironi.
Indonesia Negara yang Gagal
Gerakan reformasi nasional sejak tahun 1998 berlangsung tanpa ideologi, tanpa struktur, dan tanpa pimpinan, sehingga semua bagaikan berlangsung tanpa arah. Format budaya politik Jawa yang dipraktekkan Soekarno dan Soeharto telah gagal total sedangkan tokoh-tokoh Minangkabau sudah disikat habis.
Agak sukar membantah kesan bahwa Indonesia dewasa ini berada dalam keadaan anomi, keadaan tanpa nilai. Dewasa ini sungguh sukar untuk mensifatkan apakah Republik Indonesia masih menganut Pancasila atau sudah beralih ke liberalisme; sungguh-sungguh suatu negara kesatuan ataukah sebuah pseudo negara federal; apakah masih menganut sistem pemerintahan presidensil ataukah sudah semi parlementer; apakah masih negara hukum ataukah suatu anarki; apakah suatu demokrasi atau suatu kleptokrasi (negara yang dipimpin oleh maling-maling).
Negara-negara nasional yang baru, yang umumnya baru terbentuk sebagai bagian dari proses dekolonisasi setelah Perang Dunia Kedua, yang penduduknya sangat beragam latar belakang ras, etnik dan agamanya; yang batas-batasnya merupakan warisan dari sejarah imperialisme dan kolonialisme; dan yang korps elitenya masih harus merebut kepercayaan dari masyarakatnya yang heterogen itu, tidak jarang menampakkan suasana yang tidak stabil.
Ketidakstabilan tersebut terwujud dalam rangkaian jatuh bangunnya kabinet, kemerosotan pelayanan publik, kudeta, pemberontakan, perang saudara, huru-hara berkepanjangan, dan gangguan kriminalitas yang hampir tidak dapat dikendalikan. Untuk menelaah fenemona baru negara nasional ini pada saat ini sudah mulai berkembang studi tentang negara yang gagal dan runtuhnya negara (Baker 1998; DORFF, 2000). Republik Indonesia sudah termasuk dalam daftar negara yang disebut sebagai negara gagal. Belum runtuh, tetapi sudah mulai termasuk gagal.
Dari segi nation- and state-building (proses pembangunan bangsa) suatu masalah yang mendesak untuk ditangani adalah memuluskan kembali hubungan antara pemerintah dengan rakyat yang bermasyarakat majemuk ini.
Ultra Demokrasi
Sungguh menarik, bahwa beberapa negara Asia yang mampu bertahan terhadap kekuatan sentrifugal disintegrasi nasional, seperti Korea Selatan, Republik Rakyat Cina, Taiwan, dan Singapura, bukan saja memberikan perhatian amat besar terhadap kemajuan ekonomi, tetapi juga dengan sedikit mengorbankan demokrasi.
Korea Selatan secara formal masih berada dalam keadaan perang dengan Korea Utara. Republik Rakyat Cina masih menganut totalitarianisme Marxis-Leninis. Suasana konfrontasi militer dengan Republik Rakyat Cina masih terasa kuat di Taiwan. Malaysia dan Singapura masih diperintah dengan dukungan Internal Security Act yang terkenal itu.
Dengan mengutip tulisan Juan Linz dan Alfred Stepan (1996), Prof. Miriam Budiardjo (2002) menyimpulkan bahwa untuk dapat membangun suatu negara yang viable dalam melaksanakan tugas pokoknya, mungkin diperlukan pembatasan terhadap hak-hak demokrasi.
Gonjang ganjing berkepanjangan sejak awal reformasi dalam tahun 1998 mungkin menunjukkan kebenaran hipotesa ini. Lagi pula, Dr. Mohammad Hatta pernah mengutarakan fenomena yang sama dengan istilah lain, yaitu ultra demokrasi. Kelihatannya gerakan reformasi sekarang ini persis adalah ultra demokrasi yang dimaksud Hatta.
Integrasi Elite Politik
Dahulu, Dr. Alfian pernah menengarai bahwa salah satu ciri kehidupan politik Indonesia adalah mudah terpecah belah dan sulit bersatu. Kelihatannya pengamatan beliau masih valid sampai saat ini. Dalam waktu yang cukup lama memang terdapat semacam mitos persatuan antara tokoh-tokoh pemimpin nasional, yaitu tentang Dwitunggal Soekarno-Hatta. Mitos ini diharapkan mampu melambangkan kesatuan antara Jawa dan Luar Jawa, tetapi juga antara versi nasionalisme domestik dengan nasionalisme yang lebih universal.
Namun adalah Hatta sendiri yang kemudian menengarai bahwa mitos tersebut tidak dapat dipertahankan karena demikian banyak perbedaan, bahkan pertentangan, dalam visi politik mereka. Hatta menyebutkan hal itu sebagai dwitunggal yang menjadi dwitanggal.
Mengingat demikian pentingnya posisi elite dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Mosca,1939), baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat daerah, rasanya ada suatu kebutuhan untuk menangani hal ini secara sungguh-sungguh. Di negara-negara nasional yang sudah mempunyai sejarah yang panjang, amatlah menarik bahwa pembangunan semacam korps elite nasional ini tumbuh secara alamiah melalui universitas - universitas terkemuka seperti Universitas Oxford di Inggeris, Universitas Sorbonne di Perancis, atau Universitas-universitas Harvard, Yale dan Princeton di Amerika Serikat.
Para alumni universitas-universitas ini bukan saja diharapkan loyal pada kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang didasarkan pada visi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, tetapi juga diharapkan mampu untuk merumuskan kebijakan nasional yang adil, mampu melaksanakan kebijakan nasional tersebut secara arif, efektif, dan efisien, dan juga mampu mengendalikan bahtera negara dalam situasi internasional yang bukan saja semakin saling terkait, semakin dinamis, tetapi juga semakin kompetitif.
Teori Pembangunan Bangsa
Terdapat tiga lapisan dalam proses pembangunan bangsa yaitu:
• Pada lapisan pertama dan paling bawah, adalah etnik atau suku bangsa, yang merupakan komunitas antropologis dan menjadi tumpuan dasar bangsa dan negara. Sistem nilai kultural etnik atau suku bangsa ini mempunyai arti psikologis dan sosiologis yang penting karena ikut membentuk pribadi warganya, di manapun mereka berada, baik sebagai warga negara biasa maupun sebagai penyelenggara negara (Linton, 1962, Sherman dan Kolker, 1987). Eksistensi etnik atau suku bangsa ini dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan oleh hukum internasional hak asasi manusia. Bila keadaan berjalan secara normal, kehidupan etnik ini berjalan secara diam-diam dan tidak tampil ke permukaan.
• Pada lapisan kedua, adalah bangsa sebagai komunitas politik, yang dibentuk secara sengaja secara artifisial melalui suatu kontrak politik dan oleh karena itu merupakan produk sejarah, dan karena itu “sesuai dengan peringatan Ernest Renan” harus dipelihara setiap hari, baik oleh setiap warga negara maupun oleh para penyelenggara negara.
Benedict R.O.G Anderson memperingatkan bahwa bangsa hanyalah suatu komunitas imajiner yang hanya ada dalam alam pikiran kita, yang selain memerlukan kemampuan memvisualisasikannya juga menghendaki perwujudan konkrit dalam kehidupan sehari-hari. Bangsa dapat digambarkan sebagai suatu wadah besar dengan ruang gerak yang lebih luas bagi setiap orang, yang melintasi keterbatasan etnik, ras, agama, warna kulit atau jenis kelamin.
• Pada lapisan ketiga adalah negara, sebagai suatu subyek utama hukum internasional, yang bersamaan dengan mempunyai kewenangan untuk membangun dan menegakkan hukum nasionalnya ke dalam negeri, juga harus patuh pada hukum internasional, baik hukum internasional tertulis maupun hukum internasional tidak tertulis. Dalam pergaulan internasionl, negara diwakili oleh pemerintah yang sah menurut undang-undang dasar negara itu.
Dalam suatu bangsa yang secara kultural bermasyarakat sangat majemuk seperti Indonesia, suatu masalah konstan yang amat krusial dan karena itu harus ditangani secara amat bijaksana adalah hubungan antara pemerintah pusat dengan berbagai etnik yang merupakan komponen utama dari rakyat. Suatu anak masalah yang melekat erat dengan masalah ini adalah kenyataan bahwa kekuasaan politik dan pemerintahan yang akan menentukan nasib orang banyak akan selalu berada dalam tangan tokoh-tokoh etnik mayoritas, yang bisa peka dan bisa sama sekali tidak peka terhadap aspirasi dan kepentingan yang absah dari demikian banyak etnik bangsa yang bersangkutan.
Untuk Indonesia, masalah ini amat sangat penting. Demikian banyak masalah konflik vertikal antara pemerintah pusat, yang hampir selalu dipimpin oleh tokoh-tokoh nasional dari etnik Jawa yang menganut kultur politik otoritarian, bersumber dari ketidakpekaan pada masalah ini. Dalam visi tradisional Jawa, Jawa-lah yang merupakan pusat dunia. Selain Jawa adalah mancanegara dan tanah seberang, yang bukan saja dipenduduki oleh manusia kelas dua tetapi juga berperadaban rendah.
Dengan amat jelas kedua penulis, Ann Gregory dan DeWitt Ellinwood, menegaskan bahwa faktor penentu terletak pada kebijakan pemerintah pusat tentang kebudayaan, kelembagaan, dan alokasi sumber daya (baca: ekonomi). Dengan perkataan lain, kebijakan pemerintah pusat adalah merupakan independent variable.
Konvensi Montevideo 1933
Sungguh menakjubkan, bahwa jika sungguh - sungguh dijabarkan, tiga unsur konstitutif negara menurut Konvensi Montevideo 1933 tersebut akan berkembang menjadi 14 keterkaitan struktural, yang dapat diatur dan dikendalikan secara sistematis, koheren dan konsisten. Sejak tahun 1995 Bahar telah menyebarluaskan konsep operasional kehidupan berbangsa dan berbangsa ini
PEMERINTAH
Lazimnya, pemerintahan suatu negara dipandang terdiri dari tiga cabang yang walau pun berdiri sendiri, namun saling terkait satu sama lain, yaitu cabang legislatif, cabang eksekutif, dan cabang yudikatif. Cabang legislatif bisa disusun secara unikameral bisa juga bikameral. Cabang eksekutif bisa disusun menurut sistem pemerintahan parlementer bisa juga menurut sistem pemerintahan presidensil. Dalam sistem pemerintahan presidensil, pemerintah adalah presiden, dibantu oleh wakil presiden, para menteri, panglima dan kepala staf, kepala lembaga pemerintah non departemen. Cabang yudikatif biasanya bersifat independen dari dua cabang pemerintahan lainnya.
Tantangan yang dihadapi oleh pemerintahan mana pun juga adalah: bagaimana caranya para negarawan suatu negara mampu menjaga integrasi intra- dan antar elite sedemikian rupa, sehingga seluruh perhatian serta energi mereka bisa diarahkan secara berkesinambungan dan melembaga, untuk tercapainya cita-cita nasional, tujuan nasional, serta sasaran-sasaran nasional.
RAKYAT
Pertama, umumnya seluruh etnik ini mempunyai sejarah, adat istiadat, kebudayaan, serta wilayah kampung halaman mereka sendiri (homeland), yang eksistensinya secara konstitusional dijamin oleh pasal 18 dan 32 Undang-Undang Dasar 1945. Rezim kolonial Hindia Belanda dahulu mengadakan studi yang mendalam mengenai etnologi, antropologi,serta hukum adat (ter Haar, 1950), yang kelihatannya agak diabaikan oleh pemerintahan Republik Indonesia.
Akibat dari pengabaian, baik sengaja maupun tidak sengaja ini, sungguh merugikan, oleh karena pemerintah serta seluruh jajarannya bukan saja tidak memahami tetapi juga bisa terasing dari dinamika kehidupan rakyatnya yang bermasyarakat majemuk ini. Keterasingan tersebut bukan saja dapat menyebabkan pemerintah mempunyai gambaran yang keliru, tetapi juga dapat menyebabkan pemerintah mengambil kebijakan dan tindakan yang keliru. Dari kekeliruan tersebut akan timbul konflik vertikal, yang memang telah terjadi secara berkepanjangan sejak tahun 1946 sampai sekarang.
Kedua, dewasa ini seluruh etnik yang ada di suatu negara, khususnya yang masih berdiam dikampung halamannya masing-masing, mendapat perhatian dan perlindungan hukum internasional hak asasi manusia. Dasawarsa antara 1994-2004 dinyatakan Perserikatan Bangsa Bangsa sebagai International Decade of the Indigenous Peoples. Badan dunia tersebut menunjuk seorang Special Rapporteur untuk menekuni masalah etnik dan masyarakat hukum adat ini.
Ketiga, setiap pemerintah harus hati-hati untuk melakukan kekerasan terhadap suatu etnik, oleh karena tindakan kekerasan yang dapat menyebabkan terbunuhnya warga etnik ini secara yuridis dapat termasuk dalam genocide, yang akan termasuk dalam kejahatan kemanusiaan (crime against humanity).
WILAYAH NEGARA
Sungguh mengherankan, bahwa seperti juga dengan kecilnya minat terhadap kemajemukan rakyat kita, demikian jugalah kecilnya perhatian terhadap wilayah kita yang amat luas. Hal ini tidak bosan-bosannya diingatkan oleh Dr. Hasjim Djalal dari Departemen Luar Negeri.
Demikianlah pulau Sipadan dan Ligitan, yang dibiarkan saja dieksploitir kerajaan Malaysia, yang berdasar asas effective occupation sekarang ini diserahkan oleh Mahkamah Internasional kepada kerajaan tersebut. Kekayaan kita di laut, yang na’udzubillah besarnya, dijarah dengan tenang-tenang saja oleh kapal-kapal Thailand, sebagian dengan izin dan sebagian lagi tanpa izin pemerintah.
Dewasa ini beberapa pakar hukum laut serta pengamat sudah menengarai bahwa Indonesia akan dapat kehilangan pulau-pulau lainnya, antara lain di kepulauan Natuna. Lebih dari itu, sungguh mengherankan bahwa sebagai negara kepulauan, Republik Indonesia tidak mempunyai suatu Coast Guard.
Mungkin bisa kita pertanyakan: mengapa demikian kecil minat pemerintah terhadap rakyatnya yang demikian banyak dan wilayahnya yang demikian luas? Mungkin bahwa faktor penyebabnya terletak pada sistem nilai dari kultur politik Jawa yang dijelaskan demikian gamblang oleh Soemarsaid Murtono, dan dijabarkan oleh Ki Hadjar Dewantara, Prof. Mr. Dr. Soepomo, dan Ir. Soekarno.
Sumber :pelaminanminang.com
0 komentar:
Posting Komentar